Minggu, 17 Agustus 2014

Cast Away

"Aha. Look what I've created! I have made FIRE"

Girang banget ya... Cuma buat api doang padahal. Tapi begitulah Chuck Noland merasakan kebahagiaan tiada tara ketika mampu membuat api setelah beberapa hari terdampar di pulau pesisir pantai tanpa ada satupun manusia lain. Dalam drama Cast Away, Tom Hank yang memerankan Chuck Noland dengan cemerlang menyajikan tontonan yang inspiratif. Setidaknya ada bebera hal yang bisa kita petik dari film tahun 2000 ini, antara lain:

- Film ini menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Kepasrahan tanpa mengupayakan akal terlebih dahulu akan melahirkan kekonyolan. Didahulukan karena akal prioritas bagi manusia. Akal yang menyebabkan Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta ini. Akal yang menyebabkan Tuhan menginstrusikan malaikat untuk sujud kepada manusia. Bayangkan saja, berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk membuat api bila niat membuat secangkir kopi. Belum lagi harus menumbuk kopinya. Peran serta akal membuat hidup menjadi praktis dan cepat. Tidak hanya itu, yang terpenting dari semua itu, akal menciptakan kebahagian. Chuck Noland seketika menanggalkan nestapa nya sesaat setelah dia berhasi menciptakan api. Para peneliti yang berusaha menemukan sesuatu yang baru rela tak dibayar hanya karena demi sebuah kenikmatan menciptakan hal baru itu. Itulah sebabnya protes malaikat akan penciptakan manusia tak dihiraukan Tuhan. "Aku lebih tahu daripada kamu," kata Tuhan.

Yang kedua, ternyata kebahagiaan seseorang tak bisa diukur, seremeh atau serumit apapun itu. Bentuk, model atau rupa kebahagiaan setiap orang berbeda beda dan sekali lagi tak boleh ditertawakan. Ada yang bahagia dengan membenamkan tubuh di miliaran pasir pantai. Namun ada juga yang senang luar biasa ketika berhasil menancapkan bendera di puncak everest. Dengan begitu setiap laku pilihan hidup seseorang harus dilihat dari seberapa bahagia dia menjalankan dan menerima apapun dalam hidup ini. Lalu bijaknya menghormati setiap pilihan itu.

Yang ketiga, akan lebih sufistik. Chuck Noland berusaha tetap hidup, dengan mendayagunakan akal dan merangsang jiwa bahagia agar tetap hidup. Agar bisa kembali pulang. Biar bisa memeluk dengan penuh cinta kekasih tersayang. Ternyata, bahagia bisa membuat api, atau bisa menombak ikan adalah kebahagiaan taraf rendah. Puncak kebahagiaan tertinggi adalah menerbitkan rasa cinta yang telah lama terbenam. Kebahagiaan tertinggi adalah menghancurkan rasa rindu yang menguasai jiwa. Kebahagiaan tertinggi adalah menatap mata kekasih dan membelai penuh kasih rambut kekasih. Aha like password to heaven. Tapi tak disangka sangka sang kekasih telah dimiliki seseorang dan tak menyisakan tempat bagi Chuck Noland. Chuck kecewa.

Harusnya mencintalah kepada yang selalu Ada untuk dicinta dan membalas cinta. Dialah Zat yang dirindukan perjumpaan denganNya seperti kerinduan bayi pada puting ibunya. Kita seperti tersesat dibelantara sunyi, yang difasilitasi akal dan jiwa suci. Merangkak, berjalan dan berlari untuk kembali pulang dengan penuh harap dinanti dengan penuh cinta. "Langit hanya dalam batin kita, tersimpan setia dari lembah-lembah dimana kau dan aku lahir, semakin biru dalam dahaga", kata Sapardi Djoko Damono. Dahaga sudah semakin menyesakkan, seperti rindu. Semakin hari karena rindu, semakin dahaga, Ia semakin segar, semakin menawan, semakin biru. Terlalu indah. Bagi para sufi kembali pulang ke bumi setelah asyik di langit adalah sebuah kekonyolan. Tapi Rasul Muhammad bukan tandingan para sufi. Muhammad kembali setelah Mi'raj hanya untuk mengabarkan bahwa persiapkan bekal untuk kesana. Rasul adalah manifestasi kecintaan Ilahiah di bumi. Ia harus turun ke bumi mengabarkan bahwa cinta Tuhan kepada hambanya terlalu amat besar. Seolah Tuhan terlalu rindu akan kepulangan hambanya yang suci.

Dengan begitu mari kita persiapkan diri untuk pulang menemui kekasih yang tak mungkin membuat kita kecewa walaupun Dia menduakan.

Jumat, 20 Juni 2014



I Am Sam adalah film yang berkisah tentang seorang ayah, Sam Dawson(diperankan oleh Sean Penn) penderita retardasi mental yang mengasuh seorang anak perempuan cantik. Sampai suatu saat dinas sosial setempat memisahkan ayah dan putrinya dengan alasan, sang ayah mempunyai kemampuan intelegensia setara dengan anak umur 7 tahun. 


Perjuanganpun dimulai. Anehnya(atau tidak anehnya) pengacara yang membantu Sam untuk mendapatkan hak asuh bagi Lucy(nama putri Sam) adalah seorang wanita cerdas, sukses dan mapan yang mempunyai hubungan tak harmonis dengan anak kandungnya sendiri. Ibu yang mengadopsi Lucy, yang normal dan cerdas, juga tak mampu menanamkan cinta kasih kedalam hati lucy. Lucy tetap memilih ketulusan cinta sang ayah, tanpa teori teori cara mengasuh yang termaktub dalam buku buku. Cukup dengan cinta. 

Apa yang ditawarkan film ini adalah sebuah kritik. Kritik untuk sosok seorang ibu. Memang menjadi "ibu" adalah pekerjaan yang sulit. 

Ibu secara harafiah harus berarti perempuan yang melahirkan anak. Dalam konsep pola pengasuhan ada dikenal istilah Caregiver, pemberi perhatian. Dalam konsep ini, Ibu tidak selalu harus perempuan, bisa pria, bisa kakek, nenek atau siapapun. Yang penting dia mengasuh dengan totalitas. Ibu yang saya petikkan tak harus seorang perempuan yang mempunyai rahim dan melahirkan. 
Si pengacara perempuan yang cerdas dan kaya ini faktanya mempunyai hubungan yang kurang sedap dengan anak lelakinya. Maka ia tak layak disebut ibu yang caregiver. Dia hanya ibu secara harafiah. Ia terlalu sibuk hingga kerap mengabaikan anaknya sendiri "bercinta" dengan fasilitas mewah. Sedangkan Sam Dawson yang kurang normal pola berfikirnya sudah sangat layak disebut sebagai ibu yang memberi perhatian. Jadi sebenarnya anak siapa yang harus diamankan dinas sosial tersebut? Mana yang lebih "normal", si pengacara atau Sam Dawson? 

Ibu harusnya berfungsi ganda. Selain sebagai yang melahirkan anak, dia harus menjadi seorang caregiver. Ayah harusnya juga berbagi peran. Ayah bisa menjadi "ibu" yang menemani peran ibu. Nabi mengajarkan doa buat anak yang ingin mendoakan orang tuanya. Bukan khusus untuk ibu saja. Walaupun Nabi juga menyebut tiga kali untuk ibu untuk dihormati dibanding ayah. Tentu yang dimaksud Nabi adalah ibu yang menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk menciptakan anak-anak yang baik. 

Bila lebih jauh kita merenung, ibu adalah yang melahirkan keturunan-keturunan Adam. Sebagaimana yang kita ketahui, dua makhluk sebelum manusia ini seperti bertingkah tak elok ketika Allah hendak menciptkan makluk selain golongan mereka. Malaikat sebagai makhluk yang taat sempat memprotes atas penciptaan manusia. Malaikat yang tak taat yang akhirnya disebut iblis karena menolak sujud kepada Adam. Kedua Makhluk ini seperti ragu dengan ketaatan manusia dikemudian kelak. Hari ini, keraguan malaikat dan iblis itu sepertinya benar. Walaupun bila menggunakan perbandingan, tentu kecil lahirnya anak yang tak sesuai harapan ibunya. 

"love is all you need". Inilah pesan dalam film ini. Ekstrimnya, tak perlu akal untuk mengasuh anak. Cukup dengan: tuangkan cinta ke dalam hati anak dengan penuh kehangatan, kejujuran dan apa adanya. Orang berakal terkadang tak mampu untuk itu. Mengunci pintu agar anak tak main diluar, maka lompat temboklah ia. 

Cinta memang selalu tak butuh akal. Para pecinta kerap irasional. Bila orang rela berjalan puluhan kilo untuk memuaskan cinta, maka biarkanlah. Bila para pecinta menangis sesenggukan, itu karena cinta. Para pecinta tak ingin diejek, tak ingin dihina, tak butuh akal. Bagi para pengagum akal, berdoalah agar akal mu bisa mencari celah untuk membenarkan cinta. 

Tugas seorang ibu memang berat. Namun bila sukses menjalankan perannya maka jangan heran ketika surga hanya berada dibawah kakinya. 

Rabu, 11 Juni 2014

Jalan Lurus menuju The Green Mile

John Coffey mengetahui dengan tegas, kapan malaikat maut akan menjemputnya. Sebagai seorang terpidana yang terhukum mati, tanggal dan jam kematiannya sudah tertulis rapi di atas kertas yang ditetapkan hakim. Michael Clarke Duncan yang memerankan John Coffey hanya tinggal menunggu kapan detik itu datang didalam kerangkeng khusus terpidana hukuman mati, THE GREEN MILE. 


Disutradarai Frank Darabont, film ini meraih nilai 8,5 dari IMDB. Terinspirasi atau mungkin berdasarkan novel yang ditulis Stephen King. Dimulai dari seorang tua bernama Paul Edgecomb (diperankan oleh Dabbs Greer) yang bercerita tentang kisah mudanya yang bekerja menjadi sipir khusus penjara hukuman mati. Paul Edgecomb muda diperankan oleh Tom Hank adalah seorang sipir penjara yang baik hati dan berdedikasi tinggi. Suatu hari Paul Edgecomb kedatangan narapidana yang berbadan sangat besar, hitam, dan tentu berwajah sangat layak menjadi penjahat. Tapi tunggu dulu, tampang tak mempengaruhi hati. Hatinya lembut. Sepertinya, jiwa dan rasa anak kecil terperangkap di tubuh raksasanya. Ia santun, takut akan ruangan yang gelap dan berbicara dengan lugu. Pokoknya tak ada satupun kesan bahwa dia adalah seorang penjahat. Tapi faktanya, pengadilan menetapkan bahwa dia, John Coffey, telah membunuh dua bocah perempuan dan divonis hukuman disetrum sampai mati. 

Singkat cerita, Paul Edgecomb mulai curiga setelah yakin bahwa John Coffey adalah pria yang baik dan ternyata mempunyai mukjizat. Bila mukjizat kita yakini hanya untuk para nabi, kita sebuat saja ada suatu kelebihan yang membalut John Coffey. Coffey mampu mencabut semua penyakit yang ada pada manusia, termasuk penyakit yang diderita Paul yaitu kesulitan kencing. Paul tidak yakin kalau Coffey yang membunuh kedua anak perempuan itu, yang akhirnya memang terbukti setelah hukuman mati dilaksanakan kalau dia tidak membunuhnya, tapi justru ingin menyelamatkannya. 

Setelah menonton film ini, pikiran saya berperang. Kesana kemari mencari pembenaran. Ini karena ajaran lama yang sesak memenuhi relung otak, bahwa mati adalah rahasia Tuhan. Tidak ada satupun dari kita yang mengetahui kapan mati menghampiri. Umum kita yakini itu adalah rahasia Ilahi. Besokpun kita bisa mati. Tanpa sebab kalau sudah ajalnya tiba. Tuhan tak ingin dicampuri bila berkenaan dengan urusan ini. Sangat masuk akal mengapa dirahasiakan, karena kalau tidak, betapa asyiknya kita mempermainkan hidup ini. Namun film ini mewartakan lain. Film ini menunjukan fakta bahwa, walaupun detiknya tak pasti, ada waktu tertentu yang dinobatkan untuk pencabutan nyawa. Artinya ada masa menunggu. Bisa digunakan untuk menyesal, memohon maaf pada Tuhan, bertobat. Belum lagi bila diingatkan pada bahwa Tuhan maha penerima tobat, yang akan menerima tobat setiap hambanya, kecuali bila ruh telah dikeronkongan. Adilkah? 

Di kitab suci kita menemukan ayat “Dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnah Allah”(QS Al-kahfi). Ayat ini mungkin menyadarkan dan menuntun kita menggeser sedikit paradigma yang selama ini mengurung kita. Ternyata yang ditetapkan Tuhan adalah hukum sebab akibat (sunnah). Kematian, dan umur panjang terjadi karena akumulasi dari sebab-sebab yang membawa ke ajal atau batas akhir hidup itu. Tuhan memberikan akal untuk menghindar dari sebab-sebab itu. 

John Coffey jadi tahu karena mengerti sebab-sebab itu. 

Bahwa kapan waktu kematian tak dipermasalahkan Tuhan. Tapi bagaimana dia mati yang menjadi penilaian. Dalam puisinya, Che Guevara bersajak, "peluru, apakah yang dapat ia lakukan jika takdirku mati tenggelam." Bila kita setuju dengan konsep kematian adalah akumulasi syarat-syarat dan sebab alamiah, tentunya Che tak keliru memahami takdir. Ia memilih takdirnya bagaimana Ia harus mati. Dalam lanjutan puisinya Ia telah menulis, "ditembus peluru, TIDAK! Aku melawan, Aku mati melawan". 

Che memilih. Dengan akal dan nurani yang dia punya. John Coffey juga memilih. Walaupun dengan keterbatasan pengetahuan manusia, termasuk John Coffey, cara mati di kursi listrik sangat tak elegan. Tapi tanpa sadar, John Coffey telah memilih nurani dan fitrahnya untuk selalu menolong dan menyelamatkan orang yang membutuhkan walau pada akhirnya Ia menjadi terkorbankan. 

Bila kita terima, bahwa kematian adalah akumulasi dari sebab-sebab, maka kita sebut saja kematian itu adalah sebuah resiko atau konsekuensi. Hanya saja resiko kematian adalah sebuah resiko yang pasti terjadi. Kapanpun, hal itu pasti terjadi. Karena pada suatu titik, kita tak mungkin bisa menghindar dari sebab-sebab itu. Pendek atau panjangnya umur, sekali lagi, tidak masalah. Dalam film ini Paul Edgecomb sang sipir mendapatkan hadiah umur yang panjang dari John Coffey. John mengambil tangan Paul dan menyatakan bahwa ia harus memberi Paul "bagian dari dirinya." Paul tak menyukainya. Kesaktian itu, Ia anggap kutukan. Sebuah kutukan yang diterima, karena membiarkan John Coffey meregang nyawa di kursi listrik. Paul berkata, "it's my punishment, for letting John Coffey ride the lightning; for killing a miracle of God. Pelajaran lagi disuguhkan dalam film ini adalah, panjang umur tak selalu menarik. Saya pernah berandai-andai adanya suatu alat berteknologi yang mampu memanjangkan umur, alat yang mampu memproduksi sel yang mati, mengobati penyakit-penyakit berat, atau apapun itu, yang penting membuat kita terhindar dari kematian dan berumur seribu tahun. Ketika saya utarakan andaian itu kepada seorang teman, teman saya menjawab bahwa apa enaknya hidup ribuan tahun kalau hidup susah terus. Saya membenarkan teman saya yang bijak itu. Intinya bagaimana kita mengisi hidup ini. "orang yang tahu cara mati yang benar pasti mengerti cara hidup yang benar," kata Imam Ali. Karena (sebab-sebab yang menuju) kematian itu adalah suatu kepastian, maka bagaimana kita mempersiapkan diri untuk selalu siap kapanpun kematian menemukan kita. 

Menurut Ali Syariati, ada empat penjara pada manusia yang menggurung manusia agar tak dapat bergerak dinamis menuju kesempurnaan. Ego, sejarah, masyarakat dan alam adalah penjara-penjara yang harus bisa diatasi agar bebas bergerak menuju kesempurnaan. Ego menurut Syariati adalah yang paling sulit untuk dimusnahkan. Hanya cinta senjatanya. Dimana cinta adalah pengorbanan. Saya ingat, Jalaluddin Rakhmat pernah menulis dalam satu artikelnya bahwa ingat kepada kematian mendorong manusia berbuat baik. Ia akan menjadikan amal saleh sebagai bekal untuk kehidupan sesudah kematian. Sadar akan kematian berarti sadar akan ketiaadaan Ego dan “non-being”. Bila kita harus mengakhiri semuanya dengan kematian, masih absahkah kebiasaan kita untuk terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita? Bukankah hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita “memberikan diri” kita buat kebahagiaan orang lain? Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang lain (the otherness) ke dalam eksistensi kita. 

Setelah ke empat penjara itu mampu diatasi maka tak ada jalan lagi di dunia ini yang lebih sempurna dari jalan setelah kematian. John Coffey menyadari itu. Makanya Ia membunuh egonya, dengan memberikan "bagian dari dirinya". Pengorbanan. Ia berkata sesaat setelah Paul Edecomb tak tega lalu "menawarkan" John untuk kabur dari eksekusi, "I know you hurtin' and worryin', I can feel it on you, but you oughta quit on it now. Because I want it over and done." ini menunjukan kesiapan John menjalaninya. Lagu Cheek to Cheek yang ditulis Irving Berlin di tahun 1935 mengalun dari mulut John Coffey saat tali mengikat tangannya di kursi listrik, "heaven... Iam in heaven... Heaven... Heaven."

Sabtu, 24 Mei 2014

Memang Lucu Yaa...

Saya seketika angkat topi dengan akting Reza Rahardian , pertama kali dalam film emak ingin naik haji. Kali ini tak mungkin saya melewatkan film terbarunya, Alangkah Lucunya (Negeri ini). Tak tanggung-tanggung, tanpa berfikir panjang, tepat pada pemutaran perdananya di bioskop, saya langsung meluncur untuk menonton. Selain reza Rahardian, banyak juga artis atis top indonesia seperti Slamet Rahajo, Dedy Mizwar, Jaja Miharja dan Tio Pakusadewo. 

Oke, cukup dengan pameran pemerannya. Alangkah lucunya (negeriku ini), sepanjang pengamatan saya, pendidikan menjadi salah satu tema yang ingin di ulas, kritik, atau diperhatikan dalam film ini. Pendidikan yang membawa orang ke kehidupan yang lebih makmur secara ekonomi. Dari sejak awal, apakah pendidikan itu penting atau tidak sudah dikibarkan melalui perdebatan antara Haji Sarbini (Jaja Miharja) dan Pak Makbul (dedy mizwar). Pak Makbul sebagai ayah Muluk (Reza Rahardian) yang telah berhasil menjadikan Muluk anaknya sebagai sarjana, tetap ngotot dengan pendapatnya bahwa pendidikan itu penting. Sedangkan Haji Sarbini tetap tidak setuju, dengan argumentasi, tanpa pendidikanpun kedua anak laki-lakinya telah sukses dah bahkan mampu menunaikan ibadah haji, walau tanpa sekolah tinggi. Disinilah mulai kelihatan bahwa memang benar negri ini alangkah lucunya. Muluk dengan pangkat sarjana manajemennya seharusnya dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak dan sukses. Tapi faktanya, ia dengan usaha kerasnya masih belum dapat pekerjaan. Begitu juga dengan Samsul, teman muluk, yang sarjana pendidikan sehari hari bekerja sebagai pemain gaplek di pos ronda. 

Faktanya, pendidikan tak selalu mampu mewujudkan cita-cita ekonomi itu yang lebih baik itu. Apa sebab?

Apakah ini yang di maksud oleh sistem yang begitu terkenal yang disebut sitem ekuilibrium ekonomi? Bahwa mereka, jutaan sarjana itu, yang memiliki impian dan cita-cita yang begitu tinggi namun terhempas dalam keseimbangan ekonomi sehingga negeri ini tak mampu lagi menampung orang orang seperti itu. Begitu sempitnya lapangan pekerjaan. Edgeworth dengan diagramnya (yang sebenarnya tak kupahami) melukiskan, ekonomi seperti di negara ini bisa bisa akan bangkrut dan siap siaplah sarjana-sarjana malang akan tergulung dalam kebangkrutan itu. Haidar Bagir, dalam salah satu tulisannya di Tempo membeberkan pendapat Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel tahun 2011, yang bicara keras tentang ulah para banker dan pelaku bisnis keuangan di AS yang disebutnya sebagai telah mengacaukan ekonomi negeri itu. Apa penyebabnya? Saya copy-paste kan langsung dari tulisan Haidar, menurut observasi Stiglitz, telah terjadi kerugian mahabesar terhadap ekonomi karena turunnya produktivitas akibat hilangnya ruang bagi sebagian besar orang untuk berpartisipasi dalam ekonomi, turunnya efisiensi ekonomi karena kekuatan monopoli oleh dan pemberian privilese pajak kepada kelompok kaya, serta hilangnya tindakan kolektif yang seharusnya mendukung kekuatan ekonomi. 

Apa-apa yang kebarat-baratan di negri ini selalu dianggap keren, maju, modern. Tak hanya kawula mudanya yang suka meniru, rupanya, orang-orang tua yang mengurus negri ini juga terjangkit penyakit latah ini. Melatahkan monopoli ekonomi. Seperti lintah, ia menghisap darah negri ini, hingga terkulai lemas. Lobi-lobi korporasi mahabesar terlalu kuat mempengaruhi pemerintah. Pemerintah seperti pernah membeli jasa kepada korporasi hingga memuluskan langkahnya untuk duduk di kursi empuk kepresidenan. Efeknya tentu saja kepada masyarakat kecil yang tak punya ruang untuk menaikkan taraf hidup. Muluk, dalam film itu sempat juga ingin berbisnis beternak cacing. Tentunya setelah mempertimbangkan segala sesuatu yang secara ekonomi harus dilakukan. Prospek, ruang kerja, pasar, manfaat, daya saing, atau modal. 

Modal mungkin merupakan masalah krusial yang menghalangi produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Saya pernah menyarankan seorang teman untuk mencoba usaha futsal di lombok, kampung saya. Dengan mengambil contoh olahraga futsal yang berkembang pesat di jogja saat itu. Ia tertarik. Modal menghambat geraknya. Ia berusaha namun akhirnya patah. Gagal mencari modal. Setahun kemudian, ia menyesal luar biasa karena usaha penyewaan lapangan futsal berkembang pesat di lombok dan menjamur dimana-mana. Seorang teman juga yang mencoba meminjam uang di bank untuk modal sampai berucap ''seharusnya di setiap bank ditempatkan satu wali Allah yang bisa membaca keseriusan hati orang yg akan mengembalikan semua pinjaman tepat waktu'', itu semua karena prosedur bank yang berbelit-berbelit hingga memusingkan kepalanya. 

Akhirnya dalam film itu, muluk yang sarjana ekonomi mengambil usaha yang tak biasa, aneh, berbahaya dan berpeluang besar sekali menciptakan perdebatan di kalangan agama. Memanajemen kelompok copet anak-anak. Dia rasa untuk sementara inilah ruang yang memberikanya peluang untuk mengembangkan kemampuannya. Sambil membuat tujuan untuk membawa mereka, para pencopet, ke pekerjaanya yang lebih aman dan legal. Dia sukses besar. Teori manajemen di aplikasikanya dengan indah. Keseruan film semakin terangkat ketika masuk ke ranah agama. Ayah Muluk mengetahui pekerjaan muluk, dan langsung memvonis bahwa pekerjaan muluk itu haram mutlak. Khatamlah kesuksesan muluk. Samsul yang awalnya di plot muluk untuk menjadi guru bagi anak2 copet, membujuk muluk agar kembali menekuni usaha ini. Samsul berdalil bahwa Tuhan maha memaklumi. Tapi muluk membantah, bahwa kita tak tahu batas maklum Tuhan. 

Bagaimana kita menyikapi hal ini? Siapa yang mesti disalahkan? Muluk kah yang tidak sabaran untuk mencari pekerjaan? Bukankah terlalu banyak pekerjaan di dunia ini, yang halal, hanya membutuhkan keberanian untuk menggerus gengsi? Tukang parkir, tukang cuci baju atau piring, tukang plitur di mebel-mebel, supir angkot, pemulung dan masih banyak lagi. Atau mungkin sistim di negara ini yang kurang beres. Korporasi korporasi besar yang dibiarkan beredar dengan liar untuk memonopoli ekonomi? 
Untuk jawabanya, saya serahkan ke para pembaca yang budiman.. 

Terakhir, ada satu quote dalam film itu yang buat saya tertawa sendiri. Saya rangkai saja dengan bahasa sendiri. "pendidikan itu sangat penting, setidaknya untuk memberitahu kita bahwa pendidikan itu tidak penting'' 

Emang lucu yaa...

Jumat, 23 Mei 2014

AT FIRST SIGHT


"Only Love Can Bring You To Your Senses" lah yang akhirnya disetujui untuk menjadi tags line film "At First Sight" besutan Irwin Winkler. Tak sempat diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada 1999 silam. 


Anda pasti setuju dengan tags line nya bila menonton film ini. Singkatnya, ini tentang kisah pemuda buta yang sembuh dari kebutaan karena bantuan sang kekasih, seorang arsitek wanita yang perfeksionis. Namun setelah menjalani beberapa lama dengan mata baru,sang pemuda memutuskan untuk kembali hidup dalam kebutaan. Kembali meramaikan hidup dalam kegelapan. 



Mengapa? 



Bagi yang hobi berdebat dan berfilsafat tentang keadilan Tuhan, ada baiknya menonton film ini. Ada yang tanpak jelas ditonjolkan di sini, adalah Tuhan amat maha tahu tentang makhluknya. Melawan atau mengganti kehendak Tuhan demi tujuan membahagiakan justru mendatangkan sebaliknya. Virgil (Val Kilmer) si buta ternyata tak suka disehatkan matanya. Mungkin agak sedikit kecewa. Harapannya tentang keindahan dunia masih kalah jauh dari dunia dalam imajinasi, imajinasi yang menerangi kebutaan matanya. Ukuran kebahagian tentu berbeda pada setiap orang. Sang kekasih ingin Virgil mampu melihat, agar sama dengan orang lain, agar hidup lebih bahagia. Padahal sang kekasih lebih tepatnya ingin memakai ukuran bahagia yang dia inginkan. Dengan kalimat lain, Ia bahagia melihat Virgil mampu melihat. Ia bahagia Virgil dengan mata barunya mungkin akan memandang dirinya dengan penuh ketakjuban. Walaupun faktanya virgil ternyata tak bahagia. 



Haidar Bagir jum'at ini membahas kebahagian sederhana di radio Lite Fm. Dengan program acara Lite is beautiful, Haidar menyimpulkan bahwa kebahagiaan itu bisa dicapai dengan mengkalkulasi rahmat Tuhan yang mengalir pada kita. Sedikit pertanyaan saya ajukan melalui akun twitternya tentang apakah kita harus puas dengan apa yang ada ini tanpa harus sibuk meraih pencapaian pencapaian, Beliau menjawab "@Haidar_Bagir: Berlatihlah bahagia dalam keadaan apa pun. Kejar prestasi agar bisa lebih berbagi." that the point, pencapain itu dikejar bertujuan untuk berbagi, untuk membahagiakan orang lain. Karena hakikatnya kebahagiaan tertinggi ketika kita mampu bermanfaat buat orang lain. 



Pesan lain dalam film ini adalah, kita diajarkan untuk menetapkan kecantikan itu pada kebaikan hati seseorang. Maksudnya, seperti kita ketahui, Virgil yang buta matanya hanya bisa menterjemahkan bahwa yang namanya cantik (atau ganteng tentunya) itu adalah perhatian dan kasih sayang melimpah yang disodorkan manusia. Kekasihnya dan kakak wanitanya membanjirinya dengan itu. Makanya dalam benak Virgil keduanya adalah wanita cantik. Jadi perempuan cantik tak sekedar diukur dari paras wajahnya, tapi bagaimana paras hatinya. Seperti Muhammad Iqbal berkata, "warna biru bukan kualitas yang ada pada langit. Biru adalah sekedar sensasi yang direkam benak kita." Dan perekaman itu telah dipertahankan selama berabad-abad. Seperti yang kita ketahui konsep itu akan selamanya juga menjadi tak objektif, karena tak mungkin kita menyamakan persepsi. 



Sekali lagi, Tuhan maha adil, maha tahu, dan maha baik dalam memutuskan menjadi seperti apa idealnya seorang hamba. Yang perlu kita lakukan adalah bersyukur. 



"And when you see what's real about yourself, then you've seen a lot ... And you don't need eyes for that ..." (Virgil) 



Absb 230514

Rabu, 21 Mei 2014

Film Emak Ingin Naik Haji: Hakikat Hati Seorang Ibu

Aku harus menerobos hujan untuk dapat menonton film ini. Sehari setelah premiere film ini kupaksakan diriku memacu motorku agar dapat duduk dengan nyaman di kursi bioskop yang sepi. Aku yakini sepi karena film ini masih kalah saing dengan twilight dan 2012. Bajuku setengah basah ketika mengantri karcis. Tidak terlalu lama giliranku tiba. “Emak Ingin naik Haji satu mba”, kataku kepada petugas karcis. Terlihat raut muka yang sedikit kasihan dari petugas karcis ketika melihat bajuku yang basah.

Aku terlambat bebarapa menit. Ketika masuk kedalam, deretan kursi penonton pada nomer kursi ku hanya terisi satu orang. Hanya ada sekitar 20 penonton yang hadir menyaksikan film ini dan duduk diatas kursiku. Tebakan ku benar.

Film ini sangat “membunuhku”. Untuk seorang yang belum memberikan sesuatu yang berharga bagi Ibunya atau emaknya tentu akan merasa seperti itu. Perasaan sedih bercampur bersalah seketika tak bisa kuhindari. Aku berusaha semampuku agar mataku tak berkaca walaupun pria, jarak 4 kursi disampingku, sudah terdengar tarikan hidungnya agar ingusnya tak keluar. Tapi aku tak mampu. Air mataku mengalir juga (dasar cowok cengeng).

Mungkin aku terkesan berlebihan. Mungkin bagi sebagian orang film ini tak seharu itu. Tapi bagi orang yang ditinggal wafat oleh ibunya ketika dia belum memberikan kebahagian untuk ibunya dampaknya akan sama seperti aku rasakan. RASA KEBERSALAHAN.

Ibuku wafat pada oktober 2005 karena kangker payudara. Tepatnya pada bulan puasa malam turunnya alquran, 17 Ramadhan. Ia begitu tegar sehingga anak anak nya dan saudara kandungnya tak ada yang tahu penyakitnya. Kami tahu bahwa ibu terkena kangker ketika Ia telah koma di Rumah Sakit. Hanya bapak yang tahu perihal kangkernya ini. Ia begitu kuat menyimpan rahasia agar anak anaknya bisa terus tersenyum manis.

Ibu adalah segalanya bagiku. Ia begitu manis dan indah untuk selalu di sebut. Kapanpun itu. Saat mendung ataupun cerah. Jengkel atau marahnya pada diriku begitu anggun.

Itulah yang membuat film ini begitu menusuk jiwaku. “Sekarang uang emak ada lima juta, sudah nabung lima tahun. Kalau sekarang naik haji ongkosnya tiga puluh juta, berapa tahun lagi ya, Zein?” inilah salah satu dialog pada film itu. Lalu dilanjutkan dengan dialog, “ biarin deh g sampai umurnya g papa dah, naik haji khan buat orang yang mampu iya nggak.” Lihatlah film ini begitu berhasil menyatakan bahwa pada dasarnya seorang ibu yang sangking sayangnya tak ingin menjadi beban dalam hidup anak anak nya. Ia tak sanggup untuk menyiksa anaknya, demi memenuhi apa yang diinginkannya. Ia tak rela bila anaknya ikut menderita karena penderitaan dirinya. Seperti ibuku yang tak ingin anak anaknya tahu tentang kangker yang memakan sel sel tubuhnya. Begitulah sejatinya hakekat hati seorang ibu.

Peran seorang anak juga sangat sukses dalam film ini. Yang selayaknya berbakti dan ingin berbuat lebih untuk kebahagian seorang ibu yang tak mengharapkan apa apa. Air mata saya tumpah ketika sampai pada adegan ketika Zein, anak dari Emak yang baru pulang dari rumah sakit akibat tertabrak mobil histeris dan mengamuk karena tangannya tak lancar melukis lagi. “Sekarang Zein cacat, emak. Zein nggak bias bikin Emak seneng. Zein nggak berguna.

Sungguh sebuah film yang sangat inspiratif. Yang mampu menyodorkan hakikat sejati menjadi seorang ibu dan menjadi seorang anak. Setidaknya itu salah satu pesan dalam film ini diantara pesan pesan yang lain. Sungguh sebuah film yang layak menjadi koleksi film di rumah kita.

Semoga bermanfaat

Harapan dalam 'Shawshank Redemption'

''hope is a good thing, maybe the best of things, and no good thing ever dies''.

Waktu adalah hal yang paling sering 'dipermainkan' oleh kaum revolusioner. Ada yang sering menganggap waktu sebagai musuh. Di Cina, misalnya, Mao Zhe-dong seketika bersebrangan dengan kong hu-cu. Itu semua karena waktu. Mungkin ini juga sebabnya Mao Zhe-dong memerintahkan agar Kong Hu-cu tak diikuti. Kong Hu-cu mengatakan bahwa berlaku pelan bukanlah sesuatu yang salah, asal kita tak berhenti melakukan kerja. Mao tak terima. Mao 'melompat' dengan tujuan 'memotong' waktu sebagai tebusan untuk mengejar-karena terlampau jauh-ketertinggalan dengan dunia kapitalis. Namun tidak dengan Khumaini dan revolusinya yang gilang gemilang. Senada dengan Kong Hu-cu, khumaini betul-betul mengatur strategi dengan matang hingga memakan waktu. Pelan namun pasti kekuasaan tiran ditumbangkannya, walau ia mengecup manisnya revolusi dalam umur yang tua, 70an tahun.

Baik Mao, Khumaini dan Kong Hu-cu melakukan semua tahapan itu semata-mata demi sebuah harapan yang harus diwujudkan. Andi Dufrense, tokoh utama dalam film shawshank redemption juga mengajarkan bahwa berharap untuk kebahagian harus terus di kejar. Tak peduli dengan waktu bahkan tekanan sekalipun. Memakan waktu lama juga tak masalah. Seperti beberapa proses geologi yang disukai andi, semua berhubungan dengan 'time and presure'. Yang penting hasil yang sukses. Bukankah batubara baru bisa difungsikan setelah melalui proses tekanan dan pematangan selama ratusan juta tahun.

Shawshank redemption adalah sebuah film yang bercerita tentang sebuah penjara dan segala dinamika yang terjadi didalamnya. Penjara shawshank yang hanya memuat orang-orang dengan kasus berat. Hukuman seumur hidup. Andi dufrense berada didalamnya karena dituduh membunuh istri dan selingkuhannya. Andi mempunyai seorang sahabat yang bernama Red. Red pernah berkata pada andi bahwa disini, dipenjara ini bukanlah tempat untuk mempunyai harapan. ''Harapan adalah hal yang berbahaya, ia bisa membuatmu gila. Harapan hanya untuk orang-orang diluar sana, bukan didalam sini'' ujar Red. Andi terdiam. Ia menyimpan kata-kata Red dan berniat membuktikan bahwa Red salah. Tentunya dengan sebuah hasil. Brooks, juga sahabat andi dan red, seolah membuktikan bahwa red benar. Brooks telah terpenjara didalam shawshank selama 50 tahun. Ia sampai merasa bahwa dunia hanya selebar shawshank. Ketika ia mendapat pembebasan bersyarat, ia ketakutan dan tidak siap menghadapi dunia yang real. Raut muka yang ketakutan dan gelisa mengisi rona wajahnya. Bagi brooks dunianya adalah seluas penjara. Ia orang penting dan terpelajar didalam penjara, tapi tak berguna di luar. Ia tak tahan dan akhirnya menggantung dirinya hingga wafat.

Apa yang terjadi pada brooks? Pantas saja, para psikolog dan antropolog menghasilkan suatu kesimpulan tentang jiwa para pengungsi yang terusir dari 'rumah'. Kita masih bisa melihatnya hingga saat ini bagaimana terdamparnya warga palestina di jalan-jalan 'rumah' orang, yordania. Mereka kehilangan orientasi fundamental yang membuat segalanya menjadi relatif dan tak bertujuan. Rumah mereka, akar-akar budaya, identitas semuanya yang dulunya tetap kini lenyap. Kini mereka para migran berada di tempat unik, merasa tersesat, pengap, dan seketika mereka merasa 'dunia' mereka secara harfiah telah layu, lemah, dan akhirnya tamat.



Harapan, menurutku itulah sebabnya. Brooks tak pernah punya harap untuk kehidupan yang lebih maju. Kehidupan yang lebih progresif. Ia tak pernah mempersiapkan seperti apa kehidupan didepan yang pasti akan dilalui, tapi tak pasti tahu seperti apa yang kelak terjadi dikemudian hari. Sekali lagi Brooks tak pernah punya harap, keinginan, obsesi dan cita-cita. Sama halnya dengan para pengungsi, mereka tentu punya setitik harap, tapi tanpa tindakan dan ketakutan menghadapi tekanan. Waktu memakan usia mereka sia-sia. Tidak seperti para pejuang yang mempertahankan kedudukan mereka ditanah tercinta. Mereka berjuang, mereka menerima tekanan, mereka berevolusi, demi sebuah harapan yang indah.

20 tahun andi dufrense merancang sebuah 'revolusi pelarian diri'. Hanya dengan sebuah palu kecil dan kemampuannya di bidang perbankan dan pajak. Puluhan tahun ia membantu kepala penjara yang korup, untuk menggelapkan uang korup. Andi tahu sistim perbankan. Dengan mudah ia mengelabui dan menipu bank untuk menyimpan uang korup penjara dengan nama yang diciptakannya sendiri. Nama yang hanya sebuah nama tanpa wujud orangnya. Setelah berhasil melarikan diri dengan cara yang anda para pembaca yang harus menontonnya sendiri, andi menghilang tanpa jejak dan hidup di wilayah pantai samudra pasifik dengan miliaran uang hasil korup sang kepala penjara.

Harapan lah yang menjadi pesan film ini. Berani berharap artinya berani untuk berjuang dan menerima segala tantangan. Berani berharap juga berarti bersiap untuk berproses menjadi lebih baik. Harapan Andi untuk dapat merevolusi penjara dan hukum serta dapat menghukum para pejabat yang korup tercapai. Inilah yang membuat andi selalu bisa berfikir demi mewujudkan harapanya dan waktu menjadi tak terasa. Red berkata, orang akan melakukan banyak hal dalam penjara untuk membunuh waktu dan jenuh. Andi membuktikan ia bisa selalu berkarya dalam penjara dan tak perlu gantung diri didunia yang nyata. Diluar penjara ia sempat berkirim surat kepada red dan mengatakan dalam surat itu bahwa, harapan adalah hal yang baik, mungkin yang terbaik dari sesuatu, dan tidak ada hal baik yang pernah mati

Makanya dalam salah satu doa yang di ajarkan Rasul yang agung ada yang berbunyi, ''IRHAMM MARRA'SUMA LIHII RAJAA, Kasihanilah orang yang modalnya adalah pengharapan.''


F for Freedom, V for Vendetta

Apa yang ada dibelakang kulit dan daging diwajah kita yang kerap kali jarang dipuja? sebuah ide jawabannya. Tidak seperti pembungkus yang paling luarnya alias wajah yang sering sekali menjadi tolak ukur kesuksesan, ide seringkali menjadi seperti aktor yang keluar terakhir kali pada sebuah pegelaran teater. Ia tak begitu diharapkan kemunculannya cepat-cepat. Ia dianggap bisa berkembang dengan berjalannya waktu. Yang penting bagaimana menampilkan yang menarik mata, menggelorakan libido, mengawurkan tingkah laku. V peran utama dalam V for Vendetta harus membatalkan pandangan itu. Ia tampil dalam topeng nyata yang bisa dipesan. Seraya ingin menyadarkan bahwa wajah ini hakikatnya topeng walau ia permanen tak bisa dipesan. Bibir bisa selalu tersenyum walau jiwa dalam kondisi gelisah dan marah. Itulah yang dipilih V, topeng yang selalu penuh senyum, dengan bibir setengah lingkaran membengkok keatas. Artinya suka, bahagia, yakin.

V for Vendetta adalah sebuah film tentang ide. Ide yang mampu meledakkan sebuah 'bangunan parlemen' yang menjulang atas nama keserakahan dan kejahatan. Ide yang menelorkan sebuah revolusi yang memang sudah seharusnya dahsyat terkadang mengerikan. Kekuatan fasis menguasai inggris. Kejahatan, penguasaan total pada rakyat tanpa demokrasi adalah jalan yang ditempuh penganut fasis, setidaknya dalam film itu begitulah yang terjadi. Keping-keping runtuhan parlemen membententur kesetiap kepala hingga bergeraklah mesin kesadaran dalam jiwa dan otak setiap masyarakat dan musnahlah kekuatan fasis yang menjadi dasar kebijakan inggris saat itu.

Film V for Vendetta yang diracik dari sebuah novel karya Alan Moore dan David Lloyd rupanya setuju dengan pendapat Plato tentang ide. Ide dalam benak plato adalah abadi. Ia menyusup kedalam tubuh atau indra dan ia tak terikat olehnya. Ia adalah hasil dari proses dalam ranah rasio sadar yang menurutnya lagi tak peduli dengan lingkungan tak terusik oleh keadaan dan musnahnya raga serta lenyapnya waktu. Ia langgeng dan abadi (eternal). Plato menyatakan : …..(Siapa yang mengetahui dzatnya, dirinya menjadi dewa/tuhan). Al Ghazali mengatakan : tutuplah matamu agar kamu melihat. Maksud dari kedua pernyataan itu adalah ada yang lebih bermanfaat dari sekedar fungsi mata untuk melihat. Ide adalah hasil olah otak dan jiwa dalam sebuah perenungan, ia tak membutuhkan indra untuk berfungsi, bahkan mata yang terpejam dan gelap bisa lebih tajam menghasilkan sebuah ide. Ide-ide merupakan sistem norma atau standar untuk mengukur apakah sesuatu itu memiliki nilai atau tidak. Ide-ide itu adalah gambaran paling sempurna dari segala sesuatu dan menjadi tujuan tertinggi dari segenap moral dan estetika. Melalui gambaran ideal itu, setiap perilaku moral dan etika dapat ditentukan baik buruknya. V mengatakan tentang ketakmusnahan dan ketakberubahan ide dalam satu kalimat yang menghantam militer ketika sepucuk senjata yang ditodongkan kepadanya, “Beneath this mask, there is more than flesh, beneath this mask there is an idea, and ideas are bulletproof.” Tafsirannya, ide bukan tandingan sebuah peluru, ia tetap abadi walau topeng yang membungkusnya bisa musnah.

and ideas are bulletproof
Kembali ke film. V adalah korban dari keserakahn dan kekejaman dinasti fasis saat itu. Ia bisa dikatakan satu satunya yang selamat. Dendam kesumat atas ketidakberesan dunia yang dipijaknya membuat V memutar kepalanya demi sepercik ide tentang perubahan. Banyak yang menyesalkan tindakan V yang difilm itu sangat anarkis. Tapi saya setuju. Sebuah revolusi terkadang membutuhkan pengorbanan. Toh yang dianiaya V adalah orang orang yang memiliki catatan kejahatan yang tak ternilai agungnya. Dalam ilmu psikologi, prilaku manusia tak bisa dipahami maknanya kecuali dilihat dari sisi motivasi yang menyertainya, baik itu motivasi biologis, psikologis atau spiritual. Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu (Wikipedia). Evey, orang yang paling pertama tahu apa yang direncanakan V awalnya tak menyetujui dan marah dengan tujuan V. alasan V lah yang menyebabkan Evey mendukung rencananya. Semua itu demi sebuah tujuan mulia. Evey memahami prilaku V dari motivasi yang diusungnya. Ada ucapan Voltaire yang sangat terkenal, ‘it is dangerous to be right when the government is wrong.” Begitulah semangat revolusi.

Alhasil ide yang merupakan hasil dari perenungan dan pemikiran adalah hal yang menjadi syarat keberlagsungan hidup ini. Terlepas dari pro kontra terhadap film itu, ide adalah hikmah yang ingin disampaikan oleh film itu. Ide bisa dikatakan adalah masterpiece ciptaan Tuhan hasil dari proses akal yang menjadi kebanggaan Tuhan akan ciptaanNya, manusia. Manusia menjadi mahkluk tersempurna karena ide yang mampu diaplikasikan. Dan ide sekali lagi anti peluru.

Jakarta, setengah jam lagi menuju tgl 1 juli 2012

The Gods Must be Crazy, Erich Fromm dan Modus Eksistensi

"They must be the most contented people in the world. They have no crime, no punishment, no violence, no laws, no police, judges, rulers or bosses. They believe that the gods put only good and useful things on the earth for them to use." 

Kutipan tersebut tentu menurut kita mungkin hanya ada di surga. Bagaimana rasa hidup tanpa ada aturan, tanpa ada kejahatan, oleh karena itu tak membutuhkan polisi apalagi hakim, jaksa dan semua perangkat pengadilan. Apa rasanya hidup tanpa perlu segan dan takut dimarahi bos. Dan apa rasanya hidup dengan perasaan bahwa Tuhan telah memberikan semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi semua syarat yang disebut BAHAGIA. 

Mungkin tidak selalu surgalah tempat dimana kejahatan dan peraturan itu tak mendapatkan tempat. Sebenarnya, kalau anda percaya, kutipan itu ditujukan pada suatu tempat dipedalaman suatu negara. Nama tempat itu Kalahari. Entahlah di negara mana itu, lebih baik anda menonton langsung film yang berjudul The Gods Must be Crazy, jadi saya tak perlu lelah untuk membuktikannya. Di film itulah tempat itu diadakan. Alhasil sebuah komunitas kecil tumbuh di wilayah yang disebut kalahari itu. Dan tentu saja sangat makmur dan bersahaja. 

Tapi, iya, mereka makmur. Bukan karena kelebihan harta. Justru mereka makmur karena tak ada satupun yang harus diributkan dan direbutkan untuk dimiliki. Di Kalahari hanya ada pohon, padang pasir, rumput dan sejumlah binatang liar. Barang yang paling keras yang mereka punya yaitu tulang dan kayu. 

Sampai suatu saat, rupanya, Tuhan ingin menguji mereka. Karena apa enaknya hidup tanpa pernah naik pangkat. Tuhan kan telah berjanji untuk menguji setiap ciptaannya, terutama manusia. Maka jatuhlah sebuah benda dari langit, tepatnya dari pesawat kecil, dibuang oleh penumpangnya. Mereka bilang benda itu harta dari Tuhan. Anugerah. Harta yang berharga itu adalah sebuah botol. Apa hebatnya sebuah botol? Tentu menurut mereka, lebih hebat dari yang mereka punya. Lebih kuat dari yang tulang dan kayu bisa. Dan tentu saja yang terpenting, botol itu telah membuat mereka bertikai, ciri masyarakat beranjak modern karena ada setitik rasa memiliki muncul di hati mereka. 

Rupanya mereka tak lulus uji. 

Mengapa tak lulus uji? Kita mulai dari analisa Erich Fromm. Menurut Erich Fromm, bencana yang sering menimpa dunia yang dihuni masyarakat modern adalah adanya rasa memiliki. Maksudnya keinginan yang berlebihan untuk memiliki sesuatu yang sejatinya belum sangat diperlukan. Masyarakat modern berfikir bahwa mereka ada karena memiliki. Erich Fromm menyebutnya dengan istilah modus eksistensi memiliki. Tobe is to have. Status mereka diukur dengan jumlah yang mereka miliki. Perjuangan hidup pun adalah perjuangan untuk menambah daftar barang yang dimiliki. Padahal menurut Dewi Dee Lestari, atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Disebut sebagai acquistive society, masyarakat yang rakus dan serakah untuk memiliki. Inilah yang disebut sebagai a basis for the having mood, yaitu dasar kehidupan memiliki, lantaran memiliki, mempunyai dan mengambil untung dianggap sebagai hak suci bagi setiap individu dalam masyarakat industri. 

Dan seketika masyarakan Kalahari menjadi modern dengan kehadiran sebuah botol ditengah tengah mereka, yang mereka anggap anugerah dari Tuhan. Botol yang banyak fungsi dan menciptakan pertikaian. 

Masyarakat modern kala ini bisa dipastikan tak beda dengan komunitas kalahari itu. Amerika menginvasi Irak hanya semata masalah botol yang berisi minyak. Atau berang terhadap Iran hanya karena Amerika saja yang boleh memiliki botol berisi uranium yang bisa menjadi energi nuklir. Jadi apa bedanya? Sama-sama primitif. 

Sigmund Freud malah lebih kejam. Waktu membahas tingkat-tingkat perkembangan manusia, Ia menyamakan orang-orang yang masih memperebutkan atau asyik mengumpulkan kekayaan seperti tingkat kedua perkembangan anak. Yaitu tahap anal. Asyik mempermainkan, menonton dan mengumpulkan apa yang dihasilkannya. Seperti anak-anak yang mempermainkan kotoran yang keluar dari perutnya. Ia bekerja keras hanya untuk menumpuk kekayaan, hanya untuk mempermainkan anugerah Tuhan yang diberikan karena kerja kerasnya semata 

Kembali ke Erich Fromm, harusnya manusia memakai modus eksistensi menjadi (bukan memiliki) dalam perkembangan hidupnya. Berproses untuk lebih menjadi manusia. Senada dengan Fromm, Ali Syariati menjelaskan dengan merujuk AlQuran bahwa Tuhan memakai tiga kata dalam kitab suci yang berarti manusia. Ada basyar, nas, dan insan. Ketiga kata itu berarti manusia. Tapi mempunyai makna yang berbeda. Basyar adalah manusia biologis, nas menunjuk manusia yang mempunyai interaksi dengan sesama makhluk ciptaan, dan insan adalah yang termulia, yang selalu-dalam bahasa Syariati-mendialetikan antara lempung kotor dan ruh Tuhan. Apalagi pada kata Insan ditambahkan kata kamil, sempurna. Syariati dan Fromm sepakat bahwa yang harus kita upayakan dalam universitas hidup ini adalah bagaimana meraih gelar insan kamil. Yaitu manusia menjadi. 

Bahkan dalam cinta, Fromm menyatakan tak ada kata memiliki didalamnya. Kita tak memiliki wanita atau pria yang kita cintai. Kita mencintai dia karena dia membawa dan mengarahkan kita untuk mencintai alam semesta beserta interaksi didalamya. Dengan begitu keterpisan tak munkin jadi problem, karena rasa keterpisahan disebabkan oleh adanya rasa memiliki. Botol direbutkan dengan sengit, dipeluk, digenggam erat karena takut akan keterpisahan. Kecintaan terhadap botol baru pada taraf ingin memiliki sepenuh hati. 1400 tahun yang lalu Nabi yang mulia sudah mengingatkan dengan tegas, "bahkan terhadap istri, kalian tidak memiliki mereka sedikitpun.” 

Tentu kita boleh memiliki sesuatu. Yang dipermasalahkan orang-orang besar itu adalah sikap terhadap kepemilikan itu. Disinilah ciri modus eksistensi menjadi itu harus kita munculkan. Bahwa apa yang kita miliki sejatinya bisa mengarahkan kita menjadi lebih baik. Apa yang kita miliki adalah bagian dari proses untuk perbaikan diri kita. Perbaikan diri kita adalah puncak kebahagiaan. Mobil yang kita miliki harus membantu kita meraih kebahagiaan itu. Tentu bukan karena kita memiliki mobil kita bahagia, tapi apa yang bisa diperbuat mobil itu untuk mewujudkan cita-cita perbaikan diri itu, hingga kita menjadi bahagia. Dan seterusnya dan seterusnya. 

Ada beberapa buku yang lebih bisa menjelaskan permasalahan ini dengan komprehensif. Saya hanya pengutip yang dengan setengah mati ingin menggunakan kalimat yang diterbitkan otak dari memahami buku-buku itu. Agar saya tak dikatakan menganut mazhab modus eksistensi memiliki saya akan sebutkan saja, ada buku Meraih Cinta Ilahi dan Jalan Rakhmat, keduanya di tulis oleh Kang Jalal, ada buku Ali Syariati yang berjudul Peran Cendikiawan Muslim, dan buku The Art of Love-nya Erich Fromm, dan dari beberapa situs dengan kata kunci Erich Fromm. 

Termasuk kata-kata terakhir ini, saya kutip dari Fromm, "Keserakahan adalah jurang maut yang memaksa orang untuk berupaya tanpa henti demi memenuhi kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan." 

absb, 16 mei 2014