Jumat, 20 Juni 2014



I Am Sam adalah film yang berkisah tentang seorang ayah, Sam Dawson(diperankan oleh Sean Penn) penderita retardasi mental yang mengasuh seorang anak perempuan cantik. Sampai suatu saat dinas sosial setempat memisahkan ayah dan putrinya dengan alasan, sang ayah mempunyai kemampuan intelegensia setara dengan anak umur 7 tahun. 


Perjuanganpun dimulai. Anehnya(atau tidak anehnya) pengacara yang membantu Sam untuk mendapatkan hak asuh bagi Lucy(nama putri Sam) adalah seorang wanita cerdas, sukses dan mapan yang mempunyai hubungan tak harmonis dengan anak kandungnya sendiri. Ibu yang mengadopsi Lucy, yang normal dan cerdas, juga tak mampu menanamkan cinta kasih kedalam hati lucy. Lucy tetap memilih ketulusan cinta sang ayah, tanpa teori teori cara mengasuh yang termaktub dalam buku buku. Cukup dengan cinta. 

Apa yang ditawarkan film ini adalah sebuah kritik. Kritik untuk sosok seorang ibu. Memang menjadi "ibu" adalah pekerjaan yang sulit. 

Ibu secara harafiah harus berarti perempuan yang melahirkan anak. Dalam konsep pola pengasuhan ada dikenal istilah Caregiver, pemberi perhatian. Dalam konsep ini, Ibu tidak selalu harus perempuan, bisa pria, bisa kakek, nenek atau siapapun. Yang penting dia mengasuh dengan totalitas. Ibu yang saya petikkan tak harus seorang perempuan yang mempunyai rahim dan melahirkan. 
Si pengacara perempuan yang cerdas dan kaya ini faktanya mempunyai hubungan yang kurang sedap dengan anak lelakinya. Maka ia tak layak disebut ibu yang caregiver. Dia hanya ibu secara harafiah. Ia terlalu sibuk hingga kerap mengabaikan anaknya sendiri "bercinta" dengan fasilitas mewah. Sedangkan Sam Dawson yang kurang normal pola berfikirnya sudah sangat layak disebut sebagai ibu yang memberi perhatian. Jadi sebenarnya anak siapa yang harus diamankan dinas sosial tersebut? Mana yang lebih "normal", si pengacara atau Sam Dawson? 

Ibu harusnya berfungsi ganda. Selain sebagai yang melahirkan anak, dia harus menjadi seorang caregiver. Ayah harusnya juga berbagi peran. Ayah bisa menjadi "ibu" yang menemani peran ibu. Nabi mengajarkan doa buat anak yang ingin mendoakan orang tuanya. Bukan khusus untuk ibu saja. Walaupun Nabi juga menyebut tiga kali untuk ibu untuk dihormati dibanding ayah. Tentu yang dimaksud Nabi adalah ibu yang menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk menciptakan anak-anak yang baik. 

Bila lebih jauh kita merenung, ibu adalah yang melahirkan keturunan-keturunan Adam. Sebagaimana yang kita ketahui, dua makhluk sebelum manusia ini seperti bertingkah tak elok ketika Allah hendak menciptkan makluk selain golongan mereka. Malaikat sebagai makhluk yang taat sempat memprotes atas penciptaan manusia. Malaikat yang tak taat yang akhirnya disebut iblis karena menolak sujud kepada Adam. Kedua Makhluk ini seperti ragu dengan ketaatan manusia dikemudian kelak. Hari ini, keraguan malaikat dan iblis itu sepertinya benar. Walaupun bila menggunakan perbandingan, tentu kecil lahirnya anak yang tak sesuai harapan ibunya. 

"love is all you need". Inilah pesan dalam film ini. Ekstrimnya, tak perlu akal untuk mengasuh anak. Cukup dengan: tuangkan cinta ke dalam hati anak dengan penuh kehangatan, kejujuran dan apa adanya. Orang berakal terkadang tak mampu untuk itu. Mengunci pintu agar anak tak main diluar, maka lompat temboklah ia. 

Cinta memang selalu tak butuh akal. Para pecinta kerap irasional. Bila orang rela berjalan puluhan kilo untuk memuaskan cinta, maka biarkanlah. Bila para pecinta menangis sesenggukan, itu karena cinta. Para pecinta tak ingin diejek, tak ingin dihina, tak butuh akal. Bagi para pengagum akal, berdoalah agar akal mu bisa mencari celah untuk membenarkan cinta. 

Tugas seorang ibu memang berat. Namun bila sukses menjalankan perannya maka jangan heran ketika surga hanya berada dibawah kakinya. 

Rabu, 11 Juni 2014

Jalan Lurus menuju The Green Mile

John Coffey mengetahui dengan tegas, kapan malaikat maut akan menjemputnya. Sebagai seorang terpidana yang terhukum mati, tanggal dan jam kematiannya sudah tertulis rapi di atas kertas yang ditetapkan hakim. Michael Clarke Duncan yang memerankan John Coffey hanya tinggal menunggu kapan detik itu datang didalam kerangkeng khusus terpidana hukuman mati, THE GREEN MILE. 


Disutradarai Frank Darabont, film ini meraih nilai 8,5 dari IMDB. Terinspirasi atau mungkin berdasarkan novel yang ditulis Stephen King. Dimulai dari seorang tua bernama Paul Edgecomb (diperankan oleh Dabbs Greer) yang bercerita tentang kisah mudanya yang bekerja menjadi sipir khusus penjara hukuman mati. Paul Edgecomb muda diperankan oleh Tom Hank adalah seorang sipir penjara yang baik hati dan berdedikasi tinggi. Suatu hari Paul Edgecomb kedatangan narapidana yang berbadan sangat besar, hitam, dan tentu berwajah sangat layak menjadi penjahat. Tapi tunggu dulu, tampang tak mempengaruhi hati. Hatinya lembut. Sepertinya, jiwa dan rasa anak kecil terperangkap di tubuh raksasanya. Ia santun, takut akan ruangan yang gelap dan berbicara dengan lugu. Pokoknya tak ada satupun kesan bahwa dia adalah seorang penjahat. Tapi faktanya, pengadilan menetapkan bahwa dia, John Coffey, telah membunuh dua bocah perempuan dan divonis hukuman disetrum sampai mati. 

Singkat cerita, Paul Edgecomb mulai curiga setelah yakin bahwa John Coffey adalah pria yang baik dan ternyata mempunyai mukjizat. Bila mukjizat kita yakini hanya untuk para nabi, kita sebuat saja ada suatu kelebihan yang membalut John Coffey. Coffey mampu mencabut semua penyakit yang ada pada manusia, termasuk penyakit yang diderita Paul yaitu kesulitan kencing. Paul tidak yakin kalau Coffey yang membunuh kedua anak perempuan itu, yang akhirnya memang terbukti setelah hukuman mati dilaksanakan kalau dia tidak membunuhnya, tapi justru ingin menyelamatkannya. 

Setelah menonton film ini, pikiran saya berperang. Kesana kemari mencari pembenaran. Ini karena ajaran lama yang sesak memenuhi relung otak, bahwa mati adalah rahasia Tuhan. Tidak ada satupun dari kita yang mengetahui kapan mati menghampiri. Umum kita yakini itu adalah rahasia Ilahi. Besokpun kita bisa mati. Tanpa sebab kalau sudah ajalnya tiba. Tuhan tak ingin dicampuri bila berkenaan dengan urusan ini. Sangat masuk akal mengapa dirahasiakan, karena kalau tidak, betapa asyiknya kita mempermainkan hidup ini. Namun film ini mewartakan lain. Film ini menunjukan fakta bahwa, walaupun detiknya tak pasti, ada waktu tertentu yang dinobatkan untuk pencabutan nyawa. Artinya ada masa menunggu. Bisa digunakan untuk menyesal, memohon maaf pada Tuhan, bertobat. Belum lagi bila diingatkan pada bahwa Tuhan maha penerima tobat, yang akan menerima tobat setiap hambanya, kecuali bila ruh telah dikeronkongan. Adilkah? 

Di kitab suci kita menemukan ayat “Dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnah Allah”(QS Al-kahfi). Ayat ini mungkin menyadarkan dan menuntun kita menggeser sedikit paradigma yang selama ini mengurung kita. Ternyata yang ditetapkan Tuhan adalah hukum sebab akibat (sunnah). Kematian, dan umur panjang terjadi karena akumulasi dari sebab-sebab yang membawa ke ajal atau batas akhir hidup itu. Tuhan memberikan akal untuk menghindar dari sebab-sebab itu. 

John Coffey jadi tahu karena mengerti sebab-sebab itu. 

Bahwa kapan waktu kematian tak dipermasalahkan Tuhan. Tapi bagaimana dia mati yang menjadi penilaian. Dalam puisinya, Che Guevara bersajak, "peluru, apakah yang dapat ia lakukan jika takdirku mati tenggelam." Bila kita setuju dengan konsep kematian adalah akumulasi syarat-syarat dan sebab alamiah, tentunya Che tak keliru memahami takdir. Ia memilih takdirnya bagaimana Ia harus mati. Dalam lanjutan puisinya Ia telah menulis, "ditembus peluru, TIDAK! Aku melawan, Aku mati melawan". 

Che memilih. Dengan akal dan nurani yang dia punya. John Coffey juga memilih. Walaupun dengan keterbatasan pengetahuan manusia, termasuk John Coffey, cara mati di kursi listrik sangat tak elegan. Tapi tanpa sadar, John Coffey telah memilih nurani dan fitrahnya untuk selalu menolong dan menyelamatkan orang yang membutuhkan walau pada akhirnya Ia menjadi terkorbankan. 

Bila kita terima, bahwa kematian adalah akumulasi dari sebab-sebab, maka kita sebut saja kematian itu adalah sebuah resiko atau konsekuensi. Hanya saja resiko kematian adalah sebuah resiko yang pasti terjadi. Kapanpun, hal itu pasti terjadi. Karena pada suatu titik, kita tak mungkin bisa menghindar dari sebab-sebab itu. Pendek atau panjangnya umur, sekali lagi, tidak masalah. Dalam film ini Paul Edgecomb sang sipir mendapatkan hadiah umur yang panjang dari John Coffey. John mengambil tangan Paul dan menyatakan bahwa ia harus memberi Paul "bagian dari dirinya." Paul tak menyukainya. Kesaktian itu, Ia anggap kutukan. Sebuah kutukan yang diterima, karena membiarkan John Coffey meregang nyawa di kursi listrik. Paul berkata, "it's my punishment, for letting John Coffey ride the lightning; for killing a miracle of God. Pelajaran lagi disuguhkan dalam film ini adalah, panjang umur tak selalu menarik. Saya pernah berandai-andai adanya suatu alat berteknologi yang mampu memanjangkan umur, alat yang mampu memproduksi sel yang mati, mengobati penyakit-penyakit berat, atau apapun itu, yang penting membuat kita terhindar dari kematian dan berumur seribu tahun. Ketika saya utarakan andaian itu kepada seorang teman, teman saya menjawab bahwa apa enaknya hidup ribuan tahun kalau hidup susah terus. Saya membenarkan teman saya yang bijak itu. Intinya bagaimana kita mengisi hidup ini. "orang yang tahu cara mati yang benar pasti mengerti cara hidup yang benar," kata Imam Ali. Karena (sebab-sebab yang menuju) kematian itu adalah suatu kepastian, maka bagaimana kita mempersiapkan diri untuk selalu siap kapanpun kematian menemukan kita. 

Menurut Ali Syariati, ada empat penjara pada manusia yang menggurung manusia agar tak dapat bergerak dinamis menuju kesempurnaan. Ego, sejarah, masyarakat dan alam adalah penjara-penjara yang harus bisa diatasi agar bebas bergerak menuju kesempurnaan. Ego menurut Syariati adalah yang paling sulit untuk dimusnahkan. Hanya cinta senjatanya. Dimana cinta adalah pengorbanan. Saya ingat, Jalaluddin Rakhmat pernah menulis dalam satu artikelnya bahwa ingat kepada kematian mendorong manusia berbuat baik. Ia akan menjadikan amal saleh sebagai bekal untuk kehidupan sesudah kematian. Sadar akan kematian berarti sadar akan ketiaadaan Ego dan “non-being”. Bila kita harus mengakhiri semuanya dengan kematian, masih absahkah kebiasaan kita untuk terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita? Bukankah hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita “memberikan diri” kita buat kebahagiaan orang lain? Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang lain (the otherness) ke dalam eksistensi kita. 

Setelah ke empat penjara itu mampu diatasi maka tak ada jalan lagi di dunia ini yang lebih sempurna dari jalan setelah kematian. John Coffey menyadari itu. Makanya Ia membunuh egonya, dengan memberikan "bagian dari dirinya". Pengorbanan. Ia berkata sesaat setelah Paul Edecomb tak tega lalu "menawarkan" John untuk kabur dari eksekusi, "I know you hurtin' and worryin', I can feel it on you, but you oughta quit on it now. Because I want it over and done." ini menunjukan kesiapan John menjalaninya. Lagu Cheek to Cheek yang ditulis Irving Berlin di tahun 1935 mengalun dari mulut John Coffey saat tali mengikat tangannya di kursi listrik, "heaven... Iam in heaven... Heaven... Heaven."