Rabu, 21 Mei 2014

Film Emak Ingin Naik Haji: Hakikat Hati Seorang Ibu

Aku harus menerobos hujan untuk dapat menonton film ini. Sehari setelah premiere film ini kupaksakan diriku memacu motorku agar dapat duduk dengan nyaman di kursi bioskop yang sepi. Aku yakini sepi karena film ini masih kalah saing dengan twilight dan 2012. Bajuku setengah basah ketika mengantri karcis. Tidak terlalu lama giliranku tiba. “Emak Ingin naik Haji satu mba”, kataku kepada petugas karcis. Terlihat raut muka yang sedikit kasihan dari petugas karcis ketika melihat bajuku yang basah.

Aku terlambat bebarapa menit. Ketika masuk kedalam, deretan kursi penonton pada nomer kursi ku hanya terisi satu orang. Hanya ada sekitar 20 penonton yang hadir menyaksikan film ini dan duduk diatas kursiku. Tebakan ku benar.

Film ini sangat “membunuhku”. Untuk seorang yang belum memberikan sesuatu yang berharga bagi Ibunya atau emaknya tentu akan merasa seperti itu. Perasaan sedih bercampur bersalah seketika tak bisa kuhindari. Aku berusaha semampuku agar mataku tak berkaca walaupun pria, jarak 4 kursi disampingku, sudah terdengar tarikan hidungnya agar ingusnya tak keluar. Tapi aku tak mampu. Air mataku mengalir juga (dasar cowok cengeng).

Mungkin aku terkesan berlebihan. Mungkin bagi sebagian orang film ini tak seharu itu. Tapi bagi orang yang ditinggal wafat oleh ibunya ketika dia belum memberikan kebahagian untuk ibunya dampaknya akan sama seperti aku rasakan. RASA KEBERSALAHAN.

Ibuku wafat pada oktober 2005 karena kangker payudara. Tepatnya pada bulan puasa malam turunnya alquran, 17 Ramadhan. Ia begitu tegar sehingga anak anak nya dan saudara kandungnya tak ada yang tahu penyakitnya. Kami tahu bahwa ibu terkena kangker ketika Ia telah koma di Rumah Sakit. Hanya bapak yang tahu perihal kangkernya ini. Ia begitu kuat menyimpan rahasia agar anak anaknya bisa terus tersenyum manis.

Ibu adalah segalanya bagiku. Ia begitu manis dan indah untuk selalu di sebut. Kapanpun itu. Saat mendung ataupun cerah. Jengkel atau marahnya pada diriku begitu anggun.

Itulah yang membuat film ini begitu menusuk jiwaku. “Sekarang uang emak ada lima juta, sudah nabung lima tahun. Kalau sekarang naik haji ongkosnya tiga puluh juta, berapa tahun lagi ya, Zein?” inilah salah satu dialog pada film itu. Lalu dilanjutkan dengan dialog, “ biarin deh g sampai umurnya g papa dah, naik haji khan buat orang yang mampu iya nggak.” Lihatlah film ini begitu berhasil menyatakan bahwa pada dasarnya seorang ibu yang sangking sayangnya tak ingin menjadi beban dalam hidup anak anak nya. Ia tak sanggup untuk menyiksa anaknya, demi memenuhi apa yang diinginkannya. Ia tak rela bila anaknya ikut menderita karena penderitaan dirinya. Seperti ibuku yang tak ingin anak anaknya tahu tentang kangker yang memakan sel sel tubuhnya. Begitulah sejatinya hakekat hati seorang ibu.

Peran seorang anak juga sangat sukses dalam film ini. Yang selayaknya berbakti dan ingin berbuat lebih untuk kebahagian seorang ibu yang tak mengharapkan apa apa. Air mata saya tumpah ketika sampai pada adegan ketika Zein, anak dari Emak yang baru pulang dari rumah sakit akibat tertabrak mobil histeris dan mengamuk karena tangannya tak lancar melukis lagi. “Sekarang Zein cacat, emak. Zein nggak bias bikin Emak seneng. Zein nggak berguna.

Sungguh sebuah film yang sangat inspiratif. Yang mampu menyodorkan hakikat sejati menjadi seorang ibu dan menjadi seorang anak. Setidaknya itu salah satu pesan dalam film ini diantara pesan pesan yang lain. Sungguh sebuah film yang layak menjadi koleksi film di rumah kita.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar