Rabu, 21 Mei 2014

The Gods Must be Crazy, Erich Fromm dan Modus Eksistensi

"They must be the most contented people in the world. They have no crime, no punishment, no violence, no laws, no police, judges, rulers or bosses. They believe that the gods put only good and useful things on the earth for them to use." 

Kutipan tersebut tentu menurut kita mungkin hanya ada di surga. Bagaimana rasa hidup tanpa ada aturan, tanpa ada kejahatan, oleh karena itu tak membutuhkan polisi apalagi hakim, jaksa dan semua perangkat pengadilan. Apa rasanya hidup tanpa perlu segan dan takut dimarahi bos. Dan apa rasanya hidup dengan perasaan bahwa Tuhan telah memberikan semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi semua syarat yang disebut BAHAGIA. 

Mungkin tidak selalu surgalah tempat dimana kejahatan dan peraturan itu tak mendapatkan tempat. Sebenarnya, kalau anda percaya, kutipan itu ditujukan pada suatu tempat dipedalaman suatu negara. Nama tempat itu Kalahari. Entahlah di negara mana itu, lebih baik anda menonton langsung film yang berjudul The Gods Must be Crazy, jadi saya tak perlu lelah untuk membuktikannya. Di film itulah tempat itu diadakan. Alhasil sebuah komunitas kecil tumbuh di wilayah yang disebut kalahari itu. Dan tentu saja sangat makmur dan bersahaja. 

Tapi, iya, mereka makmur. Bukan karena kelebihan harta. Justru mereka makmur karena tak ada satupun yang harus diributkan dan direbutkan untuk dimiliki. Di Kalahari hanya ada pohon, padang pasir, rumput dan sejumlah binatang liar. Barang yang paling keras yang mereka punya yaitu tulang dan kayu. 

Sampai suatu saat, rupanya, Tuhan ingin menguji mereka. Karena apa enaknya hidup tanpa pernah naik pangkat. Tuhan kan telah berjanji untuk menguji setiap ciptaannya, terutama manusia. Maka jatuhlah sebuah benda dari langit, tepatnya dari pesawat kecil, dibuang oleh penumpangnya. Mereka bilang benda itu harta dari Tuhan. Anugerah. Harta yang berharga itu adalah sebuah botol. Apa hebatnya sebuah botol? Tentu menurut mereka, lebih hebat dari yang mereka punya. Lebih kuat dari yang tulang dan kayu bisa. Dan tentu saja yang terpenting, botol itu telah membuat mereka bertikai, ciri masyarakat beranjak modern karena ada setitik rasa memiliki muncul di hati mereka. 

Rupanya mereka tak lulus uji. 

Mengapa tak lulus uji? Kita mulai dari analisa Erich Fromm. Menurut Erich Fromm, bencana yang sering menimpa dunia yang dihuni masyarakat modern adalah adanya rasa memiliki. Maksudnya keinginan yang berlebihan untuk memiliki sesuatu yang sejatinya belum sangat diperlukan. Masyarakat modern berfikir bahwa mereka ada karena memiliki. Erich Fromm menyebutnya dengan istilah modus eksistensi memiliki. Tobe is to have. Status mereka diukur dengan jumlah yang mereka miliki. Perjuangan hidup pun adalah perjuangan untuk menambah daftar barang yang dimiliki. Padahal menurut Dewi Dee Lestari, atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Disebut sebagai acquistive society, masyarakat yang rakus dan serakah untuk memiliki. Inilah yang disebut sebagai a basis for the having mood, yaitu dasar kehidupan memiliki, lantaran memiliki, mempunyai dan mengambil untung dianggap sebagai hak suci bagi setiap individu dalam masyarakat industri. 

Dan seketika masyarakan Kalahari menjadi modern dengan kehadiran sebuah botol ditengah tengah mereka, yang mereka anggap anugerah dari Tuhan. Botol yang banyak fungsi dan menciptakan pertikaian. 

Masyarakat modern kala ini bisa dipastikan tak beda dengan komunitas kalahari itu. Amerika menginvasi Irak hanya semata masalah botol yang berisi minyak. Atau berang terhadap Iran hanya karena Amerika saja yang boleh memiliki botol berisi uranium yang bisa menjadi energi nuklir. Jadi apa bedanya? Sama-sama primitif. 

Sigmund Freud malah lebih kejam. Waktu membahas tingkat-tingkat perkembangan manusia, Ia menyamakan orang-orang yang masih memperebutkan atau asyik mengumpulkan kekayaan seperti tingkat kedua perkembangan anak. Yaitu tahap anal. Asyik mempermainkan, menonton dan mengumpulkan apa yang dihasilkannya. Seperti anak-anak yang mempermainkan kotoran yang keluar dari perutnya. Ia bekerja keras hanya untuk menumpuk kekayaan, hanya untuk mempermainkan anugerah Tuhan yang diberikan karena kerja kerasnya semata 

Kembali ke Erich Fromm, harusnya manusia memakai modus eksistensi menjadi (bukan memiliki) dalam perkembangan hidupnya. Berproses untuk lebih menjadi manusia. Senada dengan Fromm, Ali Syariati menjelaskan dengan merujuk AlQuran bahwa Tuhan memakai tiga kata dalam kitab suci yang berarti manusia. Ada basyar, nas, dan insan. Ketiga kata itu berarti manusia. Tapi mempunyai makna yang berbeda. Basyar adalah manusia biologis, nas menunjuk manusia yang mempunyai interaksi dengan sesama makhluk ciptaan, dan insan adalah yang termulia, yang selalu-dalam bahasa Syariati-mendialetikan antara lempung kotor dan ruh Tuhan. Apalagi pada kata Insan ditambahkan kata kamil, sempurna. Syariati dan Fromm sepakat bahwa yang harus kita upayakan dalam universitas hidup ini adalah bagaimana meraih gelar insan kamil. Yaitu manusia menjadi. 

Bahkan dalam cinta, Fromm menyatakan tak ada kata memiliki didalamnya. Kita tak memiliki wanita atau pria yang kita cintai. Kita mencintai dia karena dia membawa dan mengarahkan kita untuk mencintai alam semesta beserta interaksi didalamya. Dengan begitu keterpisan tak munkin jadi problem, karena rasa keterpisahan disebabkan oleh adanya rasa memiliki. Botol direbutkan dengan sengit, dipeluk, digenggam erat karena takut akan keterpisahan. Kecintaan terhadap botol baru pada taraf ingin memiliki sepenuh hati. 1400 tahun yang lalu Nabi yang mulia sudah mengingatkan dengan tegas, "bahkan terhadap istri, kalian tidak memiliki mereka sedikitpun.” 

Tentu kita boleh memiliki sesuatu. Yang dipermasalahkan orang-orang besar itu adalah sikap terhadap kepemilikan itu. Disinilah ciri modus eksistensi menjadi itu harus kita munculkan. Bahwa apa yang kita miliki sejatinya bisa mengarahkan kita menjadi lebih baik. Apa yang kita miliki adalah bagian dari proses untuk perbaikan diri kita. Perbaikan diri kita adalah puncak kebahagiaan. Mobil yang kita miliki harus membantu kita meraih kebahagiaan itu. Tentu bukan karena kita memiliki mobil kita bahagia, tapi apa yang bisa diperbuat mobil itu untuk mewujudkan cita-cita perbaikan diri itu, hingga kita menjadi bahagia. Dan seterusnya dan seterusnya. 

Ada beberapa buku yang lebih bisa menjelaskan permasalahan ini dengan komprehensif. Saya hanya pengutip yang dengan setengah mati ingin menggunakan kalimat yang diterbitkan otak dari memahami buku-buku itu. Agar saya tak dikatakan menganut mazhab modus eksistensi memiliki saya akan sebutkan saja, ada buku Meraih Cinta Ilahi dan Jalan Rakhmat, keduanya di tulis oleh Kang Jalal, ada buku Ali Syariati yang berjudul Peran Cendikiawan Muslim, dan buku The Art of Love-nya Erich Fromm, dan dari beberapa situs dengan kata kunci Erich Fromm. 

Termasuk kata-kata terakhir ini, saya kutip dari Fromm, "Keserakahan adalah jurang maut yang memaksa orang untuk berupaya tanpa henti demi memenuhi kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan." 

absb, 16 mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar