Sabtu, 24 Mei 2014

Memang Lucu Yaa...

Saya seketika angkat topi dengan akting Reza Rahardian , pertama kali dalam film emak ingin naik haji. Kali ini tak mungkin saya melewatkan film terbarunya, Alangkah Lucunya (Negeri ini). Tak tanggung-tanggung, tanpa berfikir panjang, tepat pada pemutaran perdananya di bioskop, saya langsung meluncur untuk menonton. Selain reza Rahardian, banyak juga artis atis top indonesia seperti Slamet Rahajo, Dedy Mizwar, Jaja Miharja dan Tio Pakusadewo. 

Oke, cukup dengan pameran pemerannya. Alangkah lucunya (negeriku ini), sepanjang pengamatan saya, pendidikan menjadi salah satu tema yang ingin di ulas, kritik, atau diperhatikan dalam film ini. Pendidikan yang membawa orang ke kehidupan yang lebih makmur secara ekonomi. Dari sejak awal, apakah pendidikan itu penting atau tidak sudah dikibarkan melalui perdebatan antara Haji Sarbini (Jaja Miharja) dan Pak Makbul (dedy mizwar). Pak Makbul sebagai ayah Muluk (Reza Rahardian) yang telah berhasil menjadikan Muluk anaknya sebagai sarjana, tetap ngotot dengan pendapatnya bahwa pendidikan itu penting. Sedangkan Haji Sarbini tetap tidak setuju, dengan argumentasi, tanpa pendidikanpun kedua anak laki-lakinya telah sukses dah bahkan mampu menunaikan ibadah haji, walau tanpa sekolah tinggi. Disinilah mulai kelihatan bahwa memang benar negri ini alangkah lucunya. Muluk dengan pangkat sarjana manajemennya seharusnya dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak dan sukses. Tapi faktanya, ia dengan usaha kerasnya masih belum dapat pekerjaan. Begitu juga dengan Samsul, teman muluk, yang sarjana pendidikan sehari hari bekerja sebagai pemain gaplek di pos ronda. 

Faktanya, pendidikan tak selalu mampu mewujudkan cita-cita ekonomi itu yang lebih baik itu. Apa sebab?

Apakah ini yang di maksud oleh sistem yang begitu terkenal yang disebut sitem ekuilibrium ekonomi? Bahwa mereka, jutaan sarjana itu, yang memiliki impian dan cita-cita yang begitu tinggi namun terhempas dalam keseimbangan ekonomi sehingga negeri ini tak mampu lagi menampung orang orang seperti itu. Begitu sempitnya lapangan pekerjaan. Edgeworth dengan diagramnya (yang sebenarnya tak kupahami) melukiskan, ekonomi seperti di negara ini bisa bisa akan bangkrut dan siap siaplah sarjana-sarjana malang akan tergulung dalam kebangkrutan itu. Haidar Bagir, dalam salah satu tulisannya di Tempo membeberkan pendapat Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel tahun 2011, yang bicara keras tentang ulah para banker dan pelaku bisnis keuangan di AS yang disebutnya sebagai telah mengacaukan ekonomi negeri itu. Apa penyebabnya? Saya copy-paste kan langsung dari tulisan Haidar, menurut observasi Stiglitz, telah terjadi kerugian mahabesar terhadap ekonomi karena turunnya produktivitas akibat hilangnya ruang bagi sebagian besar orang untuk berpartisipasi dalam ekonomi, turunnya efisiensi ekonomi karena kekuatan monopoli oleh dan pemberian privilese pajak kepada kelompok kaya, serta hilangnya tindakan kolektif yang seharusnya mendukung kekuatan ekonomi. 

Apa-apa yang kebarat-baratan di negri ini selalu dianggap keren, maju, modern. Tak hanya kawula mudanya yang suka meniru, rupanya, orang-orang tua yang mengurus negri ini juga terjangkit penyakit latah ini. Melatahkan monopoli ekonomi. Seperti lintah, ia menghisap darah negri ini, hingga terkulai lemas. Lobi-lobi korporasi mahabesar terlalu kuat mempengaruhi pemerintah. Pemerintah seperti pernah membeli jasa kepada korporasi hingga memuluskan langkahnya untuk duduk di kursi empuk kepresidenan. Efeknya tentu saja kepada masyarakat kecil yang tak punya ruang untuk menaikkan taraf hidup. Muluk, dalam film itu sempat juga ingin berbisnis beternak cacing. Tentunya setelah mempertimbangkan segala sesuatu yang secara ekonomi harus dilakukan. Prospek, ruang kerja, pasar, manfaat, daya saing, atau modal. 

Modal mungkin merupakan masalah krusial yang menghalangi produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Saya pernah menyarankan seorang teman untuk mencoba usaha futsal di lombok, kampung saya. Dengan mengambil contoh olahraga futsal yang berkembang pesat di jogja saat itu. Ia tertarik. Modal menghambat geraknya. Ia berusaha namun akhirnya patah. Gagal mencari modal. Setahun kemudian, ia menyesal luar biasa karena usaha penyewaan lapangan futsal berkembang pesat di lombok dan menjamur dimana-mana. Seorang teman juga yang mencoba meminjam uang di bank untuk modal sampai berucap ''seharusnya di setiap bank ditempatkan satu wali Allah yang bisa membaca keseriusan hati orang yg akan mengembalikan semua pinjaman tepat waktu'', itu semua karena prosedur bank yang berbelit-berbelit hingga memusingkan kepalanya. 

Akhirnya dalam film itu, muluk yang sarjana ekonomi mengambil usaha yang tak biasa, aneh, berbahaya dan berpeluang besar sekali menciptakan perdebatan di kalangan agama. Memanajemen kelompok copet anak-anak. Dia rasa untuk sementara inilah ruang yang memberikanya peluang untuk mengembangkan kemampuannya. Sambil membuat tujuan untuk membawa mereka, para pencopet, ke pekerjaanya yang lebih aman dan legal. Dia sukses besar. Teori manajemen di aplikasikanya dengan indah. Keseruan film semakin terangkat ketika masuk ke ranah agama. Ayah Muluk mengetahui pekerjaan muluk, dan langsung memvonis bahwa pekerjaan muluk itu haram mutlak. Khatamlah kesuksesan muluk. Samsul yang awalnya di plot muluk untuk menjadi guru bagi anak2 copet, membujuk muluk agar kembali menekuni usaha ini. Samsul berdalil bahwa Tuhan maha memaklumi. Tapi muluk membantah, bahwa kita tak tahu batas maklum Tuhan. 

Bagaimana kita menyikapi hal ini? Siapa yang mesti disalahkan? Muluk kah yang tidak sabaran untuk mencari pekerjaan? Bukankah terlalu banyak pekerjaan di dunia ini, yang halal, hanya membutuhkan keberanian untuk menggerus gengsi? Tukang parkir, tukang cuci baju atau piring, tukang plitur di mebel-mebel, supir angkot, pemulung dan masih banyak lagi. Atau mungkin sistim di negara ini yang kurang beres. Korporasi korporasi besar yang dibiarkan beredar dengan liar untuk memonopoli ekonomi? 
Untuk jawabanya, saya serahkan ke para pembaca yang budiman.. 

Terakhir, ada satu quote dalam film itu yang buat saya tertawa sendiri. Saya rangkai saja dengan bahasa sendiri. "pendidikan itu sangat penting, setidaknya untuk memberitahu kita bahwa pendidikan itu tidak penting'' 

Emang lucu yaa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar