Sabtu, 25 April 2015

The Song of Sparrows

Karim begitu terlihat akrab dengan burung-burung unta itu. Itulah pekerjaannya setiap hari, mengawasi dan merawat burung unta di sebuah peternakan. Ia berpengalaman. Ia sudah menganggap burung unta itu seperti anaknya, yang disayangi dan sekali-kali dimarahi ketika bersikap nakal.

Karim hidup bersama seorang istri yang sangat ia cintai dan tiga orang anak. Narges, istrinya, merawat tiga orang anak yang bernama Haniyeh, Hussein dan Zahra. Suatu hari Haniyeh putri sulungnya yang menderita tuli kehilangan alat pendengarannya karena terjatuh di kolam penampungan yang berlumpur tebal. Hussein memang ingin memelihara ikan di kolam itu hingga membuatnya dan beberapa orang temannya ingin membersihkannya. Rupanya ini menarik perhatian Haniyeh, dan tanpa sadar alat pendengarannya terjatuh, yang pasti akan sangat sulit ditemukan.

Meledaklah marah Karim ketika mengetahui kabar itu. Karena alat pendengaran itu sangat mahal harganya bagi Karim yang miskin. Walaupun dapat ditemukan, alat pendengaran itu telah rusak. Derita tak sampai disitu. Karim yang kehilangan konsentrasi dalam bekerja di peternakan karena memikirkan alat pendengaran Haniyeh akhirnya mendapat ujian baru. Salah satu burung unta berhasil meloloskan diri dari kandang, dan menghilang. Kejadian ini membuat Karim harus dipecat karena keteledorannya.

Karim semakin pusing. Tapi Ia tak menyerah. Diputuskannya untuk mencari peruntungan di ibu kota. Tak sengaja sebenarnya, awalnya bertujuan untuk memperbaiki alat pendengaran Haniyeh, sepeda motor Karim tiba-tiba dinaiki oleh seseorang yang mengiranya tukang ojek. Maka jadilah Karim tukang ojek yang ternyata mampu menghasilkan uang yang lebih banyak dari pekerjaannya semula. Walaupun tetap saja, harus mengumpulkan uang cukup lama untuk membeli alat pendengaran Haniyeh.

Karim adalah seorang ayah yang penyayang sekaligus bisa menjadi pemarah ketika anak-anaknya tak mengikuti apa yang dia mau. Husein, putra keduanya yang ingin menjadi milyuner dengan memelihara ikan kerap memancing kemarahan ayahnya. Cita-cita Husein mendapat halangan besar, yaitu ayahnya. Husein yang kira-kira berumur 7 tahun berulang kali menjelaskan bahwa dengan memelihara ikan, mengembang biakkannya kita bisa jadi kaya. Maka pantaslah kita sifati Hussein sebagai anak yang visioner.

Karim adalah lawan kata dari Hussein. Bila Karim tak punya strategi untuk memperbaiki hidup, Hussein lebih berfikir bagaimana hidup makmur tanpa harus melelahkan fisik. Karim harus pandai menabung, maka Hussein punya pandangan bagaimana dikejar-kejar oleh uang. Hussein tetap yakin, dengan mengembangbiakkan ikan ia bisa kaya tanpa harus lelah membanting tulang. Walaupun begitu, Hussein tak hanya berfikir saja, ia juga bekerja keras untuk mewujudkan impiannya, dengan kata lain ia bekerja keras untuk mendapatkan ikan, sumber awal yang bisa membuatnya kaya dan santai di kemudian hari.
Kisah di atas berjudul “The Song of Sparrows”, adalah sebuah film karya Majid Majidi yang dirilis tahun 2008. Film ini sangat “biasa”, namun mampu memboyong beberapa penghargaan sebagai film international dan aktor terbaik pada festival film di Berlin, Jerman. Akting para pemerannya sangat luar biasa originalnya. Saya seperti menyaksikan kehidupan mereka bukan dari layar kaca, tetapi dari jendela kamar. Tak ada akting yang mampu kita tetapkan sebagai dibuat-buat atau dipaksakan. Sangat nyata. Aksi Reza Naji yang memerankan Karim sangat mematuhi hukum realitas. Maka tak heran beliau dianugrahi aktor terbaik di Berlin.

Mengapa judulnya The Song of Sparrows, nyanyian burung pipit? Padahal gambar yang pertama di shoot dalam film itu adalah burung unta yang tingginya bisa berpuluh-puluh kali burung pipit yang mini. Menurut beberapa orang burung pipit adalah burung yang senang berkomunitas, sedangkan burung unta sangat individualis. Rupanya Majid Majidi ingin memberi perumpamaan bahwa burung unta seperti manusia-manusia yang hidup di kota yang sering acuh tak acuh dengan sekitarnya. Karim yang mencoba mencari peruntungan di kota benar-benar mengalami hal itu. Ia sendiri. Berebut penumpang dengan orang lain. Ketika sepeda motornya mogok tak ada yang rela membantu.

Sedangkan burung pipit seperti orang-orang desa yang gemar bermusyawarah dan gotong royong. Hussein merekrut beberapa orang temannya untuk mewujudkan mimpinya. Ia bergotong royong membersihkan kolam yang penuh lumpur. Bekerja bersama-sama demi mampu membeli ikan yang akan diternak. Semua dilakukan dengan bersama-sama. Walaupun tanpa sepengetahuan sang ayah, Karim. Begitulah sejatinya burung pipit, kadang-kadang menyebalkan, nakal, cicitnya mengganggu keheningan.

“Nyanyian burung pipit” yang dimaksud Majid Majidi sang sutradara mungkin celoteh Hussein dan kawan-kawannya yang menyanyikan mimpi-mimpinya, menjadi milyuner. Senandung mereka terasa tidak merdu di telinga Karim sang ayah. Karena itu Hussein seperti terpenjara dalam sel ego sang ayah. Segala usaha Hussein mendapat penentangan besar dari sang ayah. Hingga suatu saat Karim tak kuasa menahan amarah. Ia berniat menghancurkan kolam ikan itu. Namun betapa kagetnya ia ketika melihat kolam telah bersih dengan air yang bening.

Di akhir cerita, seekor burung pipit terjebak di rumah Karim. Burung itu berusaha keluar, tapi berulang kali membentur kaca. Karim yang melihat itu tampak terpuka dan terpaku. Agak sedikit kebingungan. Dengan terseok ia berjalan membukakan sang burung pipit agar bisa terbang bebas di alam tanpa sekat.

Rabu, 04 Februari 2015

BENGKEL CINTA

“Sama-sama.”
Sudah puluhan kali aku melihatnya mengucapkan balasan terima kasih orang. Pengguna jasanya lebih tepatnya. Bengkel tempatnya bermandi keringat dan oli memang tak begitu ramai. Bukan karena dia tidak ahli memperbaiki kendaraan bermotor, tapi mungkin karena keramahan dan keenggenannya menagih pembayaran dari kerja kerasnya. Hal itu membuat orang malu menggunakan jasanya. Bukan tak dibayar sama sekali, walaupun ada yang seperti itu. Namun pembayaran tak layak itu yang sering terjadi. Pelajaran aku temukan dari semua itu bahwa keramahan dalam bisnis membuat kita miskin.

Dunianya adalah dunia mesin. Segala hal yang berbau mesin selalu menarik perhatiannya. Seperti bintang di langit bagi para nelayan. Kecakapannya pada bidang ini hingga membuatnya mampu berinovasi. Dia seperti ada ikatan emosional dengan dunia permesinan. Tak jarang aku menyaksikan dia menghidupkan motor yang telah mati berhari-hari hanya dengan menatap sebentar lalu menyalakannya. Aneh bukan? Iya hanya menatapnya. Beragam pendapatpun terbit tentang kejadian “penatapan” itu. Bagi yang hobi klenik, tentu menganggap itu bantuan jin. Kalangan logis dan matematis menganggap itu hanya akumulasi usaha yang berakhir pada keputus asaan saja. Padahal bila ia tak putus saja tentu motor itu bisa menyala. Kaum psikologis menyikapinya dengan teori sugesti dan para agamawan mengatakan itu hanya pertolongan Tuhan. Aneh aneh memang. Tapi ketika aku tanya kepadanya, ia selalu tersenyum dan menjawab seperti kaum logis menjawab. “Itu seperti batu yang akan hancur dengan seratus kali pukulan, dan Bapak pemukul yang ke seratus,” katanya sambil membersihkan karburator motor milik seorang polisi.
 
Selalu mengasikkan duduk di bengkel itu. Bengkel yang terletak tepat disebelah rumah si Bapak. Rumahnya memang cukup luas. Hasil dari kerja di negeri orang sebagai TKI. Sedikit pekarangan rumahnya didirikannya sebuah bengkel kecil. Bila masuk ke rumah utama Bapak, aku bisa melihat seluruh perabotan orang kaya ada di sana. Mesin cuci merk terbaik, hingga kulkas. Aku belum pernah melihat orang kaya yang punya mesin cuci tiga buah. Di rumah itu aku temukan. Dan berfungsi dengan baik. Video player yang kaset pita berada megah diatas kulkas yang tak terpakai. Kulkas di rumah itu ada dua. Satu difungsikan di dapur. Yang satunya tinggal menunggu ditawar orang. Karenanya untuk sementara waktu difungsikan sebagai meja video. Namun semua produk mewah itu adalah barang bekas yang telah dibuang oleh pemiliknya, atau diperoleh bapak dari pasar loak. Hampir tak ada harganya. Ditangan bapak benda-benda termajinalkan itu kembali menjadi kristal yang berkilauan. Diperbaikinya dengan santai. Bila harus membeli barang baru, Ia sebenarnya senang kalau anak-anaknya merusakannya, walau dimarahi dulu sebelumnya. “Proses pembelajaran,” katanya. Tak heran bila bangkai bangkai peralatan elektronik membutuhkan ruangan khusus untuk menyimpannya. Bapak punya prinsip, segala sesuatu pasti ada manfaatnya. Ia hanya menunggu momentum yang tepat untuk berguna.

Tak hanya perkakas elektronik, kendaraan bermotorpun ada dirumah itu. Tak tanggung tanggung, Marcedez bens tahun 70′an yang mewah dizamanya itu berada dipekarangan rumah bapak. Sudah tak berfungsi. Karatnya sudah tak bisa diatasi lagi. Bahkan keempat rodanya sudah setengah tertanam tanah. Dibelakang rumah bapak ada juga mobil perang Rusia. Bapak bilang mobil ini bernama Gees, keluaran Rusia era 40an. Sangat klasik. Aku mengaguminya. Aku seperti melihat otot otot Rusia bersanding dengan bunga-bunga dan tanaman cabe, jeruk, tomat yang merupakan hobi yang dikerjakan istri bapak.

Mayat-mayat mobil itu memang hanya berfungsi sebagai ruang khayal anak-anak bapak. Itu kata bapak yang menurutku mencoba ingin merendah. Karena tak jarang aku melihat putra putri bapak yang diajak berkeliling mengunakan mobil-mobil mewah. Tentu mobil mewah milik pelanggan bapak. Bahkan mobil polisi dan ambulan pun pernah ditaklukan anak anak bapak. “Salah satu keberuntungan menjadi montir,” katanya suatu saat, “yaitu berkesempatan berperan menjadi orang kaya dalam sandiwara hidup ini.”
 
Istri sang bapak juga beruntung. Karena bisa mengomel seenak hati. Mengomel karena keramahan bapak kepada pelanggan yang membuatnya dibayar tak layak. Beruntung karena tak mungkin bapak balas mengomel. Memang terkadang aku juga menganggap bapak keterlaluan dalam keramahan. Omelan sang istri selalu tak dihiraukannya ketika tengah berduaan dengan mesin. Walaupun begitu sengit omelan sang istri, istri tak pernah lupa menyiapkan kopi pada jam bapak harus minum kopi. Aku sampai mengacak-ngacak rambutku melihat tingkah polah sepasang suami istri ini. “omelan itu adalah tanda cintanya yang masih bersemi buat Bapak. Kopi yang diracik dengan omelan selalu yang terbaik. Justru bila ia tak mengomel, Bapak jadi ndak tenang.” Dan kamipun tertawa bersama setelah bapak mengucapkan itu.
 
Tak mengerti apa yang menggerakkan aku selalu nyaman duduk di bengkel itu. Seumpama biksu yang menemukan kuil untuk berkhalwat. Suara radio timbul tenggelam bersama suara motor yang biasanya memekakkan telinga seumpama kidung-kidung cinta yang dilafalkan para darwis dalam lingkaran sebuah tarekat. Tak ada kata yang bisa melukiskan ketenangan jiwa bila berada di bengkel itu.
Bapak montir ini memang jarang bicara. Namun Ketika berbicara lancar mengalir. Jarang terjadi yang seperti ini. Misalnya ketika ia menjelaskan fungsi piston kendaraan yang mirip dengan katup pada jantung manusia. Segala jenis kendaraan bermotor tak akan bisa hidup tanpa alat ini. Begitu juga tak mungkin hidup seorang manusia tanpa jantung. Walau begitu bapak menegaskan bahwa ia tak ingin menganggap bahwa manusia adalah jasad yang menjebak mesin-mesin dengan makromolekul yang bersaing untuk berkembang. Tak hanya sekedar itu. Bapak melanjutkan, “Betapa sering dan pedulinya kita dalam merawat mesin-mesin buatan manusia ini. Dan alangkah sering lalainya kita merawat makhluk ciptaan Tuhan walau begitu seringnya 
 kita menungganginya.”
 
“Kau tahu, baru saja penyiar ini mengabarkan bahwa 17 imigran Irak yang sempat bersembunyi di kampung kita ini telah mati di tengah perairan Australia. Tenggelam disantap hiu yang memang saatnya bermigrasi ke daerah sana.” ujar Bapak tiba-tiba sambil mengatur gelombang radio tuanya agar bersih terdengar pada suatu hari yang mendung. Saat itu Bapak lagi konsentrasi penuh mendengar siaran berita yang mengudara dari Holland, Belanda. Aku tersentak. Bagaimana tidak kaget, baru saja aku membaca surat kabar yang menyatakan hanya empat imigran yang tewas.
Tentu, Bapak lebih percaya dengan berita dari media luar. Lebih berani. Maka, tak pernah kulihat ada koran di bengkel itu. Tapi yang banyak gelombang-gelombang radio favorit bapak yang ditulis seadanya di tembok bengkel yang sudah mulai menghitam. Seperti misalnya yang masih kuingat samar tertulis ditembok: Nuim K SW 9.875 kHz (31m) dan 11.745 kHz (25m). Nuim Khaiyath, penyiar senior yang Bapak idolakan, 
 mengudara dari langit Melbourne Australia.
 
“Media-media di negeri ini kebanyakan dibuat hanya untuk menjaga muka para penguasa. Kadang-kadang tak masuk akal. Manusia kok dianggap sampah, dibuang begitu saja.” kata bapak yang tampak kecewa. Jaring laba-laba disudut atap tampak masih kokoh menahan sayup kipas yang hampir tak punya raga. Aku termenung kaku, seperti kabel yang melintang seenaknya di dinding atas bengkel. Jalan raya menyepi. Suara bapak juga semakin samar. Hatiku berbicara riuh. Dari hanya hobi mendengar radio, bapak bisa menjadi bijak dan berpengetahuan. Benar kata gerombolan manusia bijak yang menyepakati bahwa banyak mendengar membuat bicara lancar.
 
Lamunanku hancur berkeping-keping ketika suara resah anak bapak. “pak, pinggang ibu kembali sakit. Ibu tak bisa menahannya.” dengan sigap bapak merapikan radionya. Dimintanya aku untuk membantunya menutup bengkel. Kulihat wajah bapak muram. Bapak tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Aku mendorong pintu kayu bengkel dan menggemboknya. Apa gerangan yang terjadi dengan istri bapak?
Hampir tiap hari aku duduk di bengkel itu. Tak satupun huruf yang pernah keluar dari mulut bapak yang menjelaskan prihal penyakit ibu. Ketika anak-anaknya kutanya, mereka menjawab hanya nyeri otot tulang belakang. Tidak mungkin bapak secemas itu. Ketika basa-basi kutanyakan kepada tetangga, nihil. Aku masih curiga. Sampai kupaksakan mampir ke rumah bapak dan menemukan beberapa tiket di meja ruang tamu bapak saat bapak membukakanku pintu.
 
“Kebetulan kau datang. Bapak titip rumah untuk beberapa hari. Mau bawa ibu berobat ke Jakarta besok,” kata Bapak membuka pembicaraan.
 
“Emang ibu sakit apa Pak?”
 
Bapak tak menjawab, kecuali menyuruhku pulang. Ada rasa cemas yang rapi terkemas dari raut muka bapak. Aku pamit dan mencium tangannya. “semoga ibu cepat sembuh”
 
Itu kalimat terakhirku untuk bapak. Seminggu kemudian, hingga keramaian mengisi rumah bapak yang tengah menunggu bapak pulang dengan jenazah sang istri tercinta.
 
*****


Berbulan-bulan kemudian, aku baru tahu bahwa istri bapak terkena kangker. Bapak menyimpan rapat penyakit ibu hanya karena tak ingin anak-anaknya sampai tahu. Jangankan tetangga, saudara-saudara kandung bapak dan ibu pun tak ada yang tahu. Kangker itu telah menyantap habis tulang punggung ibu. Karenanya ibu tak mungkin bisa berdiri. Lalu secara perlahan melahap nyawa ibu.
Bengkel menjadi tak berwarna setelah kematian istri bapak. Tak jarang aku melihatnya tutup. Padahal jam-jam itu adalah saat biasanya bapak mengkhotbahkan kebijakannya. Atau hanya sekedar membahas perspektif Nuim Khaiyath di Melbourne sana dalam memandang dinamika kejadian dunia. Bahkan di rumahpun bapak jarang ada. Anak anaknya jarang ada yang tahu bapaknya pergi kemana.
 
Kemana bapak pergi? Aku ingin tahu. Siapa tahu bisa menemani. Sebuah rencana menyilaukan otakku. Ingin membuntuti kemana pergi bapak. Hingga momen itu tercipta, aku melihat bapak keluar rumah. Magrib sebentar lagi berkumandang. Tak lebih dari lima menit lagi. Di tangan bapak tergenggam korek api gas yang ada lampunya yang bisa menyala seperti senter. Dengan tegas dan mantap langkah bapak menuju utara dari rumah. Sebenarnya langkah bapak akan melewatiku. Tapi aku yakin bapak tak mungkin menyadari aku memantaunya. Kepada orang-orang yang akan ke masjid, kulihat bapak menyebarkan senyumnya.
 
Analisa pertamaku menyatakan bapak akan pergi ke pantai. Duduk merenung menikmati sunset. Langit sudah semakin memerah di langit barat. Bapak masih melangkah tenang. Ketika jalur menuju pantai yang harusnya berbelok kebarat tak ditempuh bapak, semua menjadi tegas buatku. Utara yang dituju bapak tak mungkin pantai selanjutnya yang bisa membuat kaki bengkak karena terlalu jauh. Jalur utara yang ditelusuri bapak sangat masuk akal adalah sebuah kuburan tua tempat istri dikebumikan. Kemana lagi, kalau bukan berziarah ke pusasa istri tercinta.
 
Kenapa harus berziarah sore menjelang malam? Jiwa detektifku membuat aku harus menyelidikinya. Besok pagi aku menemui penjaga makam. Orang-orang memanggilnya pak Damar. Aku disambut dan dipersilahkan duduk di ruang tamunya yang mungil.
 
“Apakah ada orang yang hampir tiap hari datang ke kuburan ini pak?” Aku mulai bertanya setelah berbasa-basi seadanya
 
“Banyak dik, tapi ndak tiap hari juga lah.” pak Damar tampak pasti menjawab pertanyaanku
 
Belum sempat kelegaanku menguasai hati, Pak Damar kembali berkata, “tapi ada seseorang yang hampir setiap pagi atau siang berada di kuburan ini. Tapi belakangan ini saya sudah jarang melihatnya datang. Saya sempat berbincang dengannya. Istrinya meninggal 5 bulan yang lalu. Tak pernah sekalipun bapak itu lupa membersihkan kuburan istrinya. Aku sempat menawarkan diri untuk membantunya. Dia menolak.”
Penjelasan Pak Damar membuatku mampu menarik kesimpulan. Bapak memang orang yang tak ingin diintervensi untuk sesuatu yang disenanginya. Oleh karena itu Bapak memilih waktu malam hari untuk mengunjungi sang istri. Agar tak ditanya tanya Pak Damar. Itulah fungsi korek api gas yang ada lampunya. Semua telah menjadi terang setelahnya.
 
Aku memutuskan untuk menjadi penyemangat hidup Bapak. Segala macam resep hidup aku hafalkan. Semata-mata untuk memotivasi Bapak. Prilaku Bapak seperti orang yang tak menerima ketetapan Tuhan.
 
“Sudahlah pak, ikhlaskan saja. Tak perlulah Bapak melelahkan diri mengunjungi ibu setiap hari. Doa saja dari sini. Ibu telah tenang disisiNya” kataku suatu hari ketika sempat mengunjungi kediaman Bapak.
 
Senyum bapak tampak asli ketika mendengar protesku. “Kamu tahu, setiap barang tak terpakai di gudang itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dibuat.” Kata bapak sambil menunjuk gudang disebelah ruang tamu tempat kami berbincang.
 
“Ia cuman membutuhkan semenit untuk rusak. Dan mati. Lalu dibuang.” bapak melanjut sambil tetap tersenyum memandang kebingunganku.
 
“Barang-barang itu membutuhkan orang yang kreatif untuk membuatnya kembali bermakna. Makanya saya menjaganya dengan sepenuh hati. Dengan begitu saya memotivasi diri untuk menjadi kreatif.”
 
“Istriku telah mati,” kata bapak sebelum aku memotong ucapanya.
 
“Tapi bapak tidak mungkin bisa menghidupkan orang mati, sekreatif apapun otak bapak,” kataku yang membantah analogi bapak yang telah kuterka.
 
“Benar,” kata bapak
 
“Saya bukan Nabi Isa. Tapi pola pikirmu keliru. Begini…” kata Bapak yang melihatku telah mengernyitkan dahi.
 
“cinta, yang membuat bapak harus berada disamping ibu kelak di alam sana. Di dunia ini ada keterbatasan. Dengan mengunjungi makam ibu, bapak makin tersadarkan akan bernasib sama, mati. Ketika bapak bisa menjadi kreatif karena keberadaan barang bekas, tentu bapak harus mempunyai sikap terhadap orang-orang mati yang bapak cintai. Paham?”
 
“Jadi maksud bapak, apa yang bisa dipetik dengan adanya keniscayaan kematian, begitu?”
 
“sederhananya seperti itu. Karena dirimu tak bisa memperbaiki kematian, setidaknya kematian membuatmu memperbaiki hidupmu. Karena suatu saat kita akan mati, dan dengan kematian itu, kita berfungsi memperbaiki orang banyak. Sudahlah. Renungi saja dulu. Sudah sore, bapak mau istirahat, dada sesak membicarakan hal ini. Pulanglah!”
 
Bapak mengantarku sampai pintu rumah. Aku pamit dengan sejuta kekaguman di benakku.
Rupanya, itu pesan terakhir bapak, sebelum jantungnya mendadak berhenti berdetak. Aku bergegas mengunjungi rumah bapak sedetik setelah menerima kabar menyedihkan itu. Sesak dadaku. Tapi tak pernah kulihat bapak menyungging senyum seindah dalam jasad yang terbujur kaku.
Tamat.