Sabtu, 25 April 2015

The Song of Sparrows

Karim begitu terlihat akrab dengan burung-burung unta itu. Itulah pekerjaannya setiap hari, mengawasi dan merawat burung unta di sebuah peternakan. Ia berpengalaman. Ia sudah menganggap burung unta itu seperti anaknya, yang disayangi dan sekali-kali dimarahi ketika bersikap nakal.

Karim hidup bersama seorang istri yang sangat ia cintai dan tiga orang anak. Narges, istrinya, merawat tiga orang anak yang bernama Haniyeh, Hussein dan Zahra. Suatu hari Haniyeh putri sulungnya yang menderita tuli kehilangan alat pendengarannya karena terjatuh di kolam penampungan yang berlumpur tebal. Hussein memang ingin memelihara ikan di kolam itu hingga membuatnya dan beberapa orang temannya ingin membersihkannya. Rupanya ini menarik perhatian Haniyeh, dan tanpa sadar alat pendengarannya terjatuh, yang pasti akan sangat sulit ditemukan.

Meledaklah marah Karim ketika mengetahui kabar itu. Karena alat pendengaran itu sangat mahal harganya bagi Karim yang miskin. Walaupun dapat ditemukan, alat pendengaran itu telah rusak. Derita tak sampai disitu. Karim yang kehilangan konsentrasi dalam bekerja di peternakan karena memikirkan alat pendengaran Haniyeh akhirnya mendapat ujian baru. Salah satu burung unta berhasil meloloskan diri dari kandang, dan menghilang. Kejadian ini membuat Karim harus dipecat karena keteledorannya.

Karim semakin pusing. Tapi Ia tak menyerah. Diputuskannya untuk mencari peruntungan di ibu kota. Tak sengaja sebenarnya, awalnya bertujuan untuk memperbaiki alat pendengaran Haniyeh, sepeda motor Karim tiba-tiba dinaiki oleh seseorang yang mengiranya tukang ojek. Maka jadilah Karim tukang ojek yang ternyata mampu menghasilkan uang yang lebih banyak dari pekerjaannya semula. Walaupun tetap saja, harus mengumpulkan uang cukup lama untuk membeli alat pendengaran Haniyeh.

Karim adalah seorang ayah yang penyayang sekaligus bisa menjadi pemarah ketika anak-anaknya tak mengikuti apa yang dia mau. Husein, putra keduanya yang ingin menjadi milyuner dengan memelihara ikan kerap memancing kemarahan ayahnya. Cita-cita Husein mendapat halangan besar, yaitu ayahnya. Husein yang kira-kira berumur 7 tahun berulang kali menjelaskan bahwa dengan memelihara ikan, mengembang biakkannya kita bisa jadi kaya. Maka pantaslah kita sifati Hussein sebagai anak yang visioner.

Karim adalah lawan kata dari Hussein. Bila Karim tak punya strategi untuk memperbaiki hidup, Hussein lebih berfikir bagaimana hidup makmur tanpa harus melelahkan fisik. Karim harus pandai menabung, maka Hussein punya pandangan bagaimana dikejar-kejar oleh uang. Hussein tetap yakin, dengan mengembangbiakkan ikan ia bisa kaya tanpa harus lelah membanting tulang. Walaupun begitu, Hussein tak hanya berfikir saja, ia juga bekerja keras untuk mewujudkan impiannya, dengan kata lain ia bekerja keras untuk mendapatkan ikan, sumber awal yang bisa membuatnya kaya dan santai di kemudian hari.
Kisah di atas berjudul “The Song of Sparrows”, adalah sebuah film karya Majid Majidi yang dirilis tahun 2008. Film ini sangat “biasa”, namun mampu memboyong beberapa penghargaan sebagai film international dan aktor terbaik pada festival film di Berlin, Jerman. Akting para pemerannya sangat luar biasa originalnya. Saya seperti menyaksikan kehidupan mereka bukan dari layar kaca, tetapi dari jendela kamar. Tak ada akting yang mampu kita tetapkan sebagai dibuat-buat atau dipaksakan. Sangat nyata. Aksi Reza Naji yang memerankan Karim sangat mematuhi hukum realitas. Maka tak heran beliau dianugrahi aktor terbaik di Berlin.

Mengapa judulnya The Song of Sparrows, nyanyian burung pipit? Padahal gambar yang pertama di shoot dalam film itu adalah burung unta yang tingginya bisa berpuluh-puluh kali burung pipit yang mini. Menurut beberapa orang burung pipit adalah burung yang senang berkomunitas, sedangkan burung unta sangat individualis. Rupanya Majid Majidi ingin memberi perumpamaan bahwa burung unta seperti manusia-manusia yang hidup di kota yang sering acuh tak acuh dengan sekitarnya. Karim yang mencoba mencari peruntungan di kota benar-benar mengalami hal itu. Ia sendiri. Berebut penumpang dengan orang lain. Ketika sepeda motornya mogok tak ada yang rela membantu.

Sedangkan burung pipit seperti orang-orang desa yang gemar bermusyawarah dan gotong royong. Hussein merekrut beberapa orang temannya untuk mewujudkan mimpinya. Ia bergotong royong membersihkan kolam yang penuh lumpur. Bekerja bersama-sama demi mampu membeli ikan yang akan diternak. Semua dilakukan dengan bersama-sama. Walaupun tanpa sepengetahuan sang ayah, Karim. Begitulah sejatinya burung pipit, kadang-kadang menyebalkan, nakal, cicitnya mengganggu keheningan.

“Nyanyian burung pipit” yang dimaksud Majid Majidi sang sutradara mungkin celoteh Hussein dan kawan-kawannya yang menyanyikan mimpi-mimpinya, menjadi milyuner. Senandung mereka terasa tidak merdu di telinga Karim sang ayah. Karena itu Hussein seperti terpenjara dalam sel ego sang ayah. Segala usaha Hussein mendapat penentangan besar dari sang ayah. Hingga suatu saat Karim tak kuasa menahan amarah. Ia berniat menghancurkan kolam ikan itu. Namun betapa kagetnya ia ketika melihat kolam telah bersih dengan air yang bening.

Di akhir cerita, seekor burung pipit terjebak di rumah Karim. Burung itu berusaha keluar, tapi berulang kali membentur kaca. Karim yang melihat itu tampak terpuka dan terpaku. Agak sedikit kebingungan. Dengan terseok ia berjalan membukakan sang burung pipit agar bisa terbang bebas di alam tanpa sekat.

Rabu, 04 Februari 2015

BENGKEL CINTA

“Sama-sama.”
Sudah puluhan kali aku melihatnya mengucapkan balasan terima kasih orang. Pengguna jasanya lebih tepatnya. Bengkel tempatnya bermandi keringat dan oli memang tak begitu ramai. Bukan karena dia tidak ahli memperbaiki kendaraan bermotor, tapi mungkin karena keramahan dan keenggenannya menagih pembayaran dari kerja kerasnya. Hal itu membuat orang malu menggunakan jasanya. Bukan tak dibayar sama sekali, walaupun ada yang seperti itu. Namun pembayaran tak layak itu yang sering terjadi. Pelajaran aku temukan dari semua itu bahwa keramahan dalam bisnis membuat kita miskin.

Dunianya adalah dunia mesin. Segala hal yang berbau mesin selalu menarik perhatiannya. Seperti bintang di langit bagi para nelayan. Kecakapannya pada bidang ini hingga membuatnya mampu berinovasi. Dia seperti ada ikatan emosional dengan dunia permesinan. Tak jarang aku menyaksikan dia menghidupkan motor yang telah mati berhari-hari hanya dengan menatap sebentar lalu menyalakannya. Aneh bukan? Iya hanya menatapnya. Beragam pendapatpun terbit tentang kejadian “penatapan” itu. Bagi yang hobi klenik, tentu menganggap itu bantuan jin. Kalangan logis dan matematis menganggap itu hanya akumulasi usaha yang berakhir pada keputus asaan saja. Padahal bila ia tak putus saja tentu motor itu bisa menyala. Kaum psikologis menyikapinya dengan teori sugesti dan para agamawan mengatakan itu hanya pertolongan Tuhan. Aneh aneh memang. Tapi ketika aku tanya kepadanya, ia selalu tersenyum dan menjawab seperti kaum logis menjawab. “Itu seperti batu yang akan hancur dengan seratus kali pukulan, dan Bapak pemukul yang ke seratus,” katanya sambil membersihkan karburator motor milik seorang polisi.
 
Selalu mengasikkan duduk di bengkel itu. Bengkel yang terletak tepat disebelah rumah si Bapak. Rumahnya memang cukup luas. Hasil dari kerja di negeri orang sebagai TKI. Sedikit pekarangan rumahnya didirikannya sebuah bengkel kecil. Bila masuk ke rumah utama Bapak, aku bisa melihat seluruh perabotan orang kaya ada di sana. Mesin cuci merk terbaik, hingga kulkas. Aku belum pernah melihat orang kaya yang punya mesin cuci tiga buah. Di rumah itu aku temukan. Dan berfungsi dengan baik. Video player yang kaset pita berada megah diatas kulkas yang tak terpakai. Kulkas di rumah itu ada dua. Satu difungsikan di dapur. Yang satunya tinggal menunggu ditawar orang. Karenanya untuk sementara waktu difungsikan sebagai meja video. Namun semua produk mewah itu adalah barang bekas yang telah dibuang oleh pemiliknya, atau diperoleh bapak dari pasar loak. Hampir tak ada harganya. Ditangan bapak benda-benda termajinalkan itu kembali menjadi kristal yang berkilauan. Diperbaikinya dengan santai. Bila harus membeli barang baru, Ia sebenarnya senang kalau anak-anaknya merusakannya, walau dimarahi dulu sebelumnya. “Proses pembelajaran,” katanya. Tak heran bila bangkai bangkai peralatan elektronik membutuhkan ruangan khusus untuk menyimpannya. Bapak punya prinsip, segala sesuatu pasti ada manfaatnya. Ia hanya menunggu momentum yang tepat untuk berguna.

Tak hanya perkakas elektronik, kendaraan bermotorpun ada dirumah itu. Tak tanggung tanggung, Marcedez bens tahun 70′an yang mewah dizamanya itu berada dipekarangan rumah bapak. Sudah tak berfungsi. Karatnya sudah tak bisa diatasi lagi. Bahkan keempat rodanya sudah setengah tertanam tanah. Dibelakang rumah bapak ada juga mobil perang Rusia. Bapak bilang mobil ini bernama Gees, keluaran Rusia era 40an. Sangat klasik. Aku mengaguminya. Aku seperti melihat otot otot Rusia bersanding dengan bunga-bunga dan tanaman cabe, jeruk, tomat yang merupakan hobi yang dikerjakan istri bapak.

Mayat-mayat mobil itu memang hanya berfungsi sebagai ruang khayal anak-anak bapak. Itu kata bapak yang menurutku mencoba ingin merendah. Karena tak jarang aku melihat putra putri bapak yang diajak berkeliling mengunakan mobil-mobil mewah. Tentu mobil mewah milik pelanggan bapak. Bahkan mobil polisi dan ambulan pun pernah ditaklukan anak anak bapak. “Salah satu keberuntungan menjadi montir,” katanya suatu saat, “yaitu berkesempatan berperan menjadi orang kaya dalam sandiwara hidup ini.”
 
Istri sang bapak juga beruntung. Karena bisa mengomel seenak hati. Mengomel karena keramahan bapak kepada pelanggan yang membuatnya dibayar tak layak. Beruntung karena tak mungkin bapak balas mengomel. Memang terkadang aku juga menganggap bapak keterlaluan dalam keramahan. Omelan sang istri selalu tak dihiraukannya ketika tengah berduaan dengan mesin. Walaupun begitu sengit omelan sang istri, istri tak pernah lupa menyiapkan kopi pada jam bapak harus minum kopi. Aku sampai mengacak-ngacak rambutku melihat tingkah polah sepasang suami istri ini. “omelan itu adalah tanda cintanya yang masih bersemi buat Bapak. Kopi yang diracik dengan omelan selalu yang terbaik. Justru bila ia tak mengomel, Bapak jadi ndak tenang.” Dan kamipun tertawa bersama setelah bapak mengucapkan itu.
 
Tak mengerti apa yang menggerakkan aku selalu nyaman duduk di bengkel itu. Seumpama biksu yang menemukan kuil untuk berkhalwat. Suara radio timbul tenggelam bersama suara motor yang biasanya memekakkan telinga seumpama kidung-kidung cinta yang dilafalkan para darwis dalam lingkaran sebuah tarekat. Tak ada kata yang bisa melukiskan ketenangan jiwa bila berada di bengkel itu.
Bapak montir ini memang jarang bicara. Namun Ketika berbicara lancar mengalir. Jarang terjadi yang seperti ini. Misalnya ketika ia menjelaskan fungsi piston kendaraan yang mirip dengan katup pada jantung manusia. Segala jenis kendaraan bermotor tak akan bisa hidup tanpa alat ini. Begitu juga tak mungkin hidup seorang manusia tanpa jantung. Walau begitu bapak menegaskan bahwa ia tak ingin menganggap bahwa manusia adalah jasad yang menjebak mesin-mesin dengan makromolekul yang bersaing untuk berkembang. Tak hanya sekedar itu. Bapak melanjutkan, “Betapa sering dan pedulinya kita dalam merawat mesin-mesin buatan manusia ini. Dan alangkah sering lalainya kita merawat makhluk ciptaan Tuhan walau begitu seringnya 
 kita menungganginya.”
 
“Kau tahu, baru saja penyiar ini mengabarkan bahwa 17 imigran Irak yang sempat bersembunyi di kampung kita ini telah mati di tengah perairan Australia. Tenggelam disantap hiu yang memang saatnya bermigrasi ke daerah sana.” ujar Bapak tiba-tiba sambil mengatur gelombang radio tuanya agar bersih terdengar pada suatu hari yang mendung. Saat itu Bapak lagi konsentrasi penuh mendengar siaran berita yang mengudara dari Holland, Belanda. Aku tersentak. Bagaimana tidak kaget, baru saja aku membaca surat kabar yang menyatakan hanya empat imigran yang tewas.
Tentu, Bapak lebih percaya dengan berita dari media luar. Lebih berani. Maka, tak pernah kulihat ada koran di bengkel itu. Tapi yang banyak gelombang-gelombang radio favorit bapak yang ditulis seadanya di tembok bengkel yang sudah mulai menghitam. Seperti misalnya yang masih kuingat samar tertulis ditembok: Nuim K SW 9.875 kHz (31m) dan 11.745 kHz (25m). Nuim Khaiyath, penyiar senior yang Bapak idolakan, 
 mengudara dari langit Melbourne Australia.
 
“Media-media di negeri ini kebanyakan dibuat hanya untuk menjaga muka para penguasa. Kadang-kadang tak masuk akal. Manusia kok dianggap sampah, dibuang begitu saja.” kata bapak yang tampak kecewa. Jaring laba-laba disudut atap tampak masih kokoh menahan sayup kipas yang hampir tak punya raga. Aku termenung kaku, seperti kabel yang melintang seenaknya di dinding atas bengkel. Jalan raya menyepi. Suara bapak juga semakin samar. Hatiku berbicara riuh. Dari hanya hobi mendengar radio, bapak bisa menjadi bijak dan berpengetahuan. Benar kata gerombolan manusia bijak yang menyepakati bahwa banyak mendengar membuat bicara lancar.
 
Lamunanku hancur berkeping-keping ketika suara resah anak bapak. “pak, pinggang ibu kembali sakit. Ibu tak bisa menahannya.” dengan sigap bapak merapikan radionya. Dimintanya aku untuk membantunya menutup bengkel. Kulihat wajah bapak muram. Bapak tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Aku mendorong pintu kayu bengkel dan menggemboknya. Apa gerangan yang terjadi dengan istri bapak?
Hampir tiap hari aku duduk di bengkel itu. Tak satupun huruf yang pernah keluar dari mulut bapak yang menjelaskan prihal penyakit ibu. Ketika anak-anaknya kutanya, mereka menjawab hanya nyeri otot tulang belakang. Tidak mungkin bapak secemas itu. Ketika basa-basi kutanyakan kepada tetangga, nihil. Aku masih curiga. Sampai kupaksakan mampir ke rumah bapak dan menemukan beberapa tiket di meja ruang tamu bapak saat bapak membukakanku pintu.
 
“Kebetulan kau datang. Bapak titip rumah untuk beberapa hari. Mau bawa ibu berobat ke Jakarta besok,” kata Bapak membuka pembicaraan.
 
“Emang ibu sakit apa Pak?”
 
Bapak tak menjawab, kecuali menyuruhku pulang. Ada rasa cemas yang rapi terkemas dari raut muka bapak. Aku pamit dan mencium tangannya. “semoga ibu cepat sembuh”
 
Itu kalimat terakhirku untuk bapak. Seminggu kemudian, hingga keramaian mengisi rumah bapak yang tengah menunggu bapak pulang dengan jenazah sang istri tercinta.
 
*****


Berbulan-bulan kemudian, aku baru tahu bahwa istri bapak terkena kangker. Bapak menyimpan rapat penyakit ibu hanya karena tak ingin anak-anaknya sampai tahu. Jangankan tetangga, saudara-saudara kandung bapak dan ibu pun tak ada yang tahu. Kangker itu telah menyantap habis tulang punggung ibu. Karenanya ibu tak mungkin bisa berdiri. Lalu secara perlahan melahap nyawa ibu.
Bengkel menjadi tak berwarna setelah kematian istri bapak. Tak jarang aku melihatnya tutup. Padahal jam-jam itu adalah saat biasanya bapak mengkhotbahkan kebijakannya. Atau hanya sekedar membahas perspektif Nuim Khaiyath di Melbourne sana dalam memandang dinamika kejadian dunia. Bahkan di rumahpun bapak jarang ada. Anak anaknya jarang ada yang tahu bapaknya pergi kemana.
 
Kemana bapak pergi? Aku ingin tahu. Siapa tahu bisa menemani. Sebuah rencana menyilaukan otakku. Ingin membuntuti kemana pergi bapak. Hingga momen itu tercipta, aku melihat bapak keluar rumah. Magrib sebentar lagi berkumandang. Tak lebih dari lima menit lagi. Di tangan bapak tergenggam korek api gas yang ada lampunya yang bisa menyala seperti senter. Dengan tegas dan mantap langkah bapak menuju utara dari rumah. Sebenarnya langkah bapak akan melewatiku. Tapi aku yakin bapak tak mungkin menyadari aku memantaunya. Kepada orang-orang yang akan ke masjid, kulihat bapak menyebarkan senyumnya.
 
Analisa pertamaku menyatakan bapak akan pergi ke pantai. Duduk merenung menikmati sunset. Langit sudah semakin memerah di langit barat. Bapak masih melangkah tenang. Ketika jalur menuju pantai yang harusnya berbelok kebarat tak ditempuh bapak, semua menjadi tegas buatku. Utara yang dituju bapak tak mungkin pantai selanjutnya yang bisa membuat kaki bengkak karena terlalu jauh. Jalur utara yang ditelusuri bapak sangat masuk akal adalah sebuah kuburan tua tempat istri dikebumikan. Kemana lagi, kalau bukan berziarah ke pusasa istri tercinta.
 
Kenapa harus berziarah sore menjelang malam? Jiwa detektifku membuat aku harus menyelidikinya. Besok pagi aku menemui penjaga makam. Orang-orang memanggilnya pak Damar. Aku disambut dan dipersilahkan duduk di ruang tamunya yang mungil.
 
“Apakah ada orang yang hampir tiap hari datang ke kuburan ini pak?” Aku mulai bertanya setelah berbasa-basi seadanya
 
“Banyak dik, tapi ndak tiap hari juga lah.” pak Damar tampak pasti menjawab pertanyaanku
 
Belum sempat kelegaanku menguasai hati, Pak Damar kembali berkata, “tapi ada seseorang yang hampir setiap pagi atau siang berada di kuburan ini. Tapi belakangan ini saya sudah jarang melihatnya datang. Saya sempat berbincang dengannya. Istrinya meninggal 5 bulan yang lalu. Tak pernah sekalipun bapak itu lupa membersihkan kuburan istrinya. Aku sempat menawarkan diri untuk membantunya. Dia menolak.”
Penjelasan Pak Damar membuatku mampu menarik kesimpulan. Bapak memang orang yang tak ingin diintervensi untuk sesuatu yang disenanginya. Oleh karena itu Bapak memilih waktu malam hari untuk mengunjungi sang istri. Agar tak ditanya tanya Pak Damar. Itulah fungsi korek api gas yang ada lampunya. Semua telah menjadi terang setelahnya.
 
Aku memutuskan untuk menjadi penyemangat hidup Bapak. Segala macam resep hidup aku hafalkan. Semata-mata untuk memotivasi Bapak. Prilaku Bapak seperti orang yang tak menerima ketetapan Tuhan.
 
“Sudahlah pak, ikhlaskan saja. Tak perlulah Bapak melelahkan diri mengunjungi ibu setiap hari. Doa saja dari sini. Ibu telah tenang disisiNya” kataku suatu hari ketika sempat mengunjungi kediaman Bapak.
 
Senyum bapak tampak asli ketika mendengar protesku. “Kamu tahu, setiap barang tak terpakai di gudang itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dibuat.” Kata bapak sambil menunjuk gudang disebelah ruang tamu tempat kami berbincang.
 
“Ia cuman membutuhkan semenit untuk rusak. Dan mati. Lalu dibuang.” bapak melanjut sambil tetap tersenyum memandang kebingunganku.
 
“Barang-barang itu membutuhkan orang yang kreatif untuk membuatnya kembali bermakna. Makanya saya menjaganya dengan sepenuh hati. Dengan begitu saya memotivasi diri untuk menjadi kreatif.”
 
“Istriku telah mati,” kata bapak sebelum aku memotong ucapanya.
 
“Tapi bapak tidak mungkin bisa menghidupkan orang mati, sekreatif apapun otak bapak,” kataku yang membantah analogi bapak yang telah kuterka.
 
“Benar,” kata bapak
 
“Saya bukan Nabi Isa. Tapi pola pikirmu keliru. Begini…” kata Bapak yang melihatku telah mengernyitkan dahi.
 
“cinta, yang membuat bapak harus berada disamping ibu kelak di alam sana. Di dunia ini ada keterbatasan. Dengan mengunjungi makam ibu, bapak makin tersadarkan akan bernasib sama, mati. Ketika bapak bisa menjadi kreatif karena keberadaan barang bekas, tentu bapak harus mempunyai sikap terhadap orang-orang mati yang bapak cintai. Paham?”
 
“Jadi maksud bapak, apa yang bisa dipetik dengan adanya keniscayaan kematian, begitu?”
 
“sederhananya seperti itu. Karena dirimu tak bisa memperbaiki kematian, setidaknya kematian membuatmu memperbaiki hidupmu. Karena suatu saat kita akan mati, dan dengan kematian itu, kita berfungsi memperbaiki orang banyak. Sudahlah. Renungi saja dulu. Sudah sore, bapak mau istirahat, dada sesak membicarakan hal ini. Pulanglah!”
 
Bapak mengantarku sampai pintu rumah. Aku pamit dengan sejuta kekaguman di benakku.
Rupanya, itu pesan terakhir bapak, sebelum jantungnya mendadak berhenti berdetak. Aku bergegas mengunjungi rumah bapak sedetik setelah menerima kabar menyedihkan itu. Sesak dadaku. Tapi tak pernah kulihat bapak menyungging senyum seindah dalam jasad yang terbujur kaku.
Tamat.

Minggu, 17 Agustus 2014

Cast Away

"Aha. Look what I've created! I have made FIRE"

Girang banget ya... Cuma buat api doang padahal. Tapi begitulah Chuck Noland merasakan kebahagiaan tiada tara ketika mampu membuat api setelah beberapa hari terdampar di pulau pesisir pantai tanpa ada satupun manusia lain. Dalam drama Cast Away, Tom Hank yang memerankan Chuck Noland dengan cemerlang menyajikan tontonan yang inspiratif. Setidaknya ada bebera hal yang bisa kita petik dari film tahun 2000 ini, antara lain:

- Film ini menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Kepasrahan tanpa mengupayakan akal terlebih dahulu akan melahirkan kekonyolan. Didahulukan karena akal prioritas bagi manusia. Akal yang menyebabkan Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta ini. Akal yang menyebabkan Tuhan menginstrusikan malaikat untuk sujud kepada manusia. Bayangkan saja, berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk membuat api bila niat membuat secangkir kopi. Belum lagi harus menumbuk kopinya. Peran serta akal membuat hidup menjadi praktis dan cepat. Tidak hanya itu, yang terpenting dari semua itu, akal menciptakan kebahagian. Chuck Noland seketika menanggalkan nestapa nya sesaat setelah dia berhasi menciptakan api. Para peneliti yang berusaha menemukan sesuatu yang baru rela tak dibayar hanya karena demi sebuah kenikmatan menciptakan hal baru itu. Itulah sebabnya protes malaikat akan penciptakan manusia tak dihiraukan Tuhan. "Aku lebih tahu daripada kamu," kata Tuhan.

Yang kedua, ternyata kebahagiaan seseorang tak bisa diukur, seremeh atau serumit apapun itu. Bentuk, model atau rupa kebahagiaan setiap orang berbeda beda dan sekali lagi tak boleh ditertawakan. Ada yang bahagia dengan membenamkan tubuh di miliaran pasir pantai. Namun ada juga yang senang luar biasa ketika berhasil menancapkan bendera di puncak everest. Dengan begitu setiap laku pilihan hidup seseorang harus dilihat dari seberapa bahagia dia menjalankan dan menerima apapun dalam hidup ini. Lalu bijaknya menghormati setiap pilihan itu.

Yang ketiga, akan lebih sufistik. Chuck Noland berusaha tetap hidup, dengan mendayagunakan akal dan merangsang jiwa bahagia agar tetap hidup. Agar bisa kembali pulang. Biar bisa memeluk dengan penuh cinta kekasih tersayang. Ternyata, bahagia bisa membuat api, atau bisa menombak ikan adalah kebahagiaan taraf rendah. Puncak kebahagiaan tertinggi adalah menerbitkan rasa cinta yang telah lama terbenam. Kebahagiaan tertinggi adalah menghancurkan rasa rindu yang menguasai jiwa. Kebahagiaan tertinggi adalah menatap mata kekasih dan membelai penuh kasih rambut kekasih. Aha like password to heaven. Tapi tak disangka sangka sang kekasih telah dimiliki seseorang dan tak menyisakan tempat bagi Chuck Noland. Chuck kecewa.

Harusnya mencintalah kepada yang selalu Ada untuk dicinta dan membalas cinta. Dialah Zat yang dirindukan perjumpaan denganNya seperti kerinduan bayi pada puting ibunya. Kita seperti tersesat dibelantara sunyi, yang difasilitasi akal dan jiwa suci. Merangkak, berjalan dan berlari untuk kembali pulang dengan penuh harap dinanti dengan penuh cinta. "Langit hanya dalam batin kita, tersimpan setia dari lembah-lembah dimana kau dan aku lahir, semakin biru dalam dahaga", kata Sapardi Djoko Damono. Dahaga sudah semakin menyesakkan, seperti rindu. Semakin hari karena rindu, semakin dahaga, Ia semakin segar, semakin menawan, semakin biru. Terlalu indah. Bagi para sufi kembali pulang ke bumi setelah asyik di langit adalah sebuah kekonyolan. Tapi Rasul Muhammad bukan tandingan para sufi. Muhammad kembali setelah Mi'raj hanya untuk mengabarkan bahwa persiapkan bekal untuk kesana. Rasul adalah manifestasi kecintaan Ilahiah di bumi. Ia harus turun ke bumi mengabarkan bahwa cinta Tuhan kepada hambanya terlalu amat besar. Seolah Tuhan terlalu rindu akan kepulangan hambanya yang suci.

Dengan begitu mari kita persiapkan diri untuk pulang menemui kekasih yang tak mungkin membuat kita kecewa walaupun Dia menduakan.

Jumat, 20 Juni 2014



I Am Sam adalah film yang berkisah tentang seorang ayah, Sam Dawson(diperankan oleh Sean Penn) penderita retardasi mental yang mengasuh seorang anak perempuan cantik. Sampai suatu saat dinas sosial setempat memisahkan ayah dan putrinya dengan alasan, sang ayah mempunyai kemampuan intelegensia setara dengan anak umur 7 tahun. 


Perjuanganpun dimulai. Anehnya(atau tidak anehnya) pengacara yang membantu Sam untuk mendapatkan hak asuh bagi Lucy(nama putri Sam) adalah seorang wanita cerdas, sukses dan mapan yang mempunyai hubungan tak harmonis dengan anak kandungnya sendiri. Ibu yang mengadopsi Lucy, yang normal dan cerdas, juga tak mampu menanamkan cinta kasih kedalam hati lucy. Lucy tetap memilih ketulusan cinta sang ayah, tanpa teori teori cara mengasuh yang termaktub dalam buku buku. Cukup dengan cinta. 

Apa yang ditawarkan film ini adalah sebuah kritik. Kritik untuk sosok seorang ibu. Memang menjadi "ibu" adalah pekerjaan yang sulit. 

Ibu secara harafiah harus berarti perempuan yang melahirkan anak. Dalam konsep pola pengasuhan ada dikenal istilah Caregiver, pemberi perhatian. Dalam konsep ini, Ibu tidak selalu harus perempuan, bisa pria, bisa kakek, nenek atau siapapun. Yang penting dia mengasuh dengan totalitas. Ibu yang saya petikkan tak harus seorang perempuan yang mempunyai rahim dan melahirkan. 
Si pengacara perempuan yang cerdas dan kaya ini faktanya mempunyai hubungan yang kurang sedap dengan anak lelakinya. Maka ia tak layak disebut ibu yang caregiver. Dia hanya ibu secara harafiah. Ia terlalu sibuk hingga kerap mengabaikan anaknya sendiri "bercinta" dengan fasilitas mewah. Sedangkan Sam Dawson yang kurang normal pola berfikirnya sudah sangat layak disebut sebagai ibu yang memberi perhatian. Jadi sebenarnya anak siapa yang harus diamankan dinas sosial tersebut? Mana yang lebih "normal", si pengacara atau Sam Dawson? 

Ibu harusnya berfungsi ganda. Selain sebagai yang melahirkan anak, dia harus menjadi seorang caregiver. Ayah harusnya juga berbagi peran. Ayah bisa menjadi "ibu" yang menemani peran ibu. Nabi mengajarkan doa buat anak yang ingin mendoakan orang tuanya. Bukan khusus untuk ibu saja. Walaupun Nabi juga menyebut tiga kali untuk ibu untuk dihormati dibanding ayah. Tentu yang dimaksud Nabi adalah ibu yang menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk menciptakan anak-anak yang baik. 

Bila lebih jauh kita merenung, ibu adalah yang melahirkan keturunan-keturunan Adam. Sebagaimana yang kita ketahui, dua makhluk sebelum manusia ini seperti bertingkah tak elok ketika Allah hendak menciptkan makluk selain golongan mereka. Malaikat sebagai makhluk yang taat sempat memprotes atas penciptaan manusia. Malaikat yang tak taat yang akhirnya disebut iblis karena menolak sujud kepada Adam. Kedua Makhluk ini seperti ragu dengan ketaatan manusia dikemudian kelak. Hari ini, keraguan malaikat dan iblis itu sepertinya benar. Walaupun bila menggunakan perbandingan, tentu kecil lahirnya anak yang tak sesuai harapan ibunya. 

"love is all you need". Inilah pesan dalam film ini. Ekstrimnya, tak perlu akal untuk mengasuh anak. Cukup dengan: tuangkan cinta ke dalam hati anak dengan penuh kehangatan, kejujuran dan apa adanya. Orang berakal terkadang tak mampu untuk itu. Mengunci pintu agar anak tak main diluar, maka lompat temboklah ia. 

Cinta memang selalu tak butuh akal. Para pecinta kerap irasional. Bila orang rela berjalan puluhan kilo untuk memuaskan cinta, maka biarkanlah. Bila para pecinta menangis sesenggukan, itu karena cinta. Para pecinta tak ingin diejek, tak ingin dihina, tak butuh akal. Bagi para pengagum akal, berdoalah agar akal mu bisa mencari celah untuk membenarkan cinta. 

Tugas seorang ibu memang berat. Namun bila sukses menjalankan perannya maka jangan heran ketika surga hanya berada dibawah kakinya. 

Rabu, 11 Juni 2014

Jalan Lurus menuju The Green Mile

John Coffey mengetahui dengan tegas, kapan malaikat maut akan menjemputnya. Sebagai seorang terpidana yang terhukum mati, tanggal dan jam kematiannya sudah tertulis rapi di atas kertas yang ditetapkan hakim. Michael Clarke Duncan yang memerankan John Coffey hanya tinggal menunggu kapan detik itu datang didalam kerangkeng khusus terpidana hukuman mati, THE GREEN MILE. 


Disutradarai Frank Darabont, film ini meraih nilai 8,5 dari IMDB. Terinspirasi atau mungkin berdasarkan novel yang ditulis Stephen King. Dimulai dari seorang tua bernama Paul Edgecomb (diperankan oleh Dabbs Greer) yang bercerita tentang kisah mudanya yang bekerja menjadi sipir khusus penjara hukuman mati. Paul Edgecomb muda diperankan oleh Tom Hank adalah seorang sipir penjara yang baik hati dan berdedikasi tinggi. Suatu hari Paul Edgecomb kedatangan narapidana yang berbadan sangat besar, hitam, dan tentu berwajah sangat layak menjadi penjahat. Tapi tunggu dulu, tampang tak mempengaruhi hati. Hatinya lembut. Sepertinya, jiwa dan rasa anak kecil terperangkap di tubuh raksasanya. Ia santun, takut akan ruangan yang gelap dan berbicara dengan lugu. Pokoknya tak ada satupun kesan bahwa dia adalah seorang penjahat. Tapi faktanya, pengadilan menetapkan bahwa dia, John Coffey, telah membunuh dua bocah perempuan dan divonis hukuman disetrum sampai mati. 

Singkat cerita, Paul Edgecomb mulai curiga setelah yakin bahwa John Coffey adalah pria yang baik dan ternyata mempunyai mukjizat. Bila mukjizat kita yakini hanya untuk para nabi, kita sebuat saja ada suatu kelebihan yang membalut John Coffey. Coffey mampu mencabut semua penyakit yang ada pada manusia, termasuk penyakit yang diderita Paul yaitu kesulitan kencing. Paul tidak yakin kalau Coffey yang membunuh kedua anak perempuan itu, yang akhirnya memang terbukti setelah hukuman mati dilaksanakan kalau dia tidak membunuhnya, tapi justru ingin menyelamatkannya. 

Setelah menonton film ini, pikiran saya berperang. Kesana kemari mencari pembenaran. Ini karena ajaran lama yang sesak memenuhi relung otak, bahwa mati adalah rahasia Tuhan. Tidak ada satupun dari kita yang mengetahui kapan mati menghampiri. Umum kita yakini itu adalah rahasia Ilahi. Besokpun kita bisa mati. Tanpa sebab kalau sudah ajalnya tiba. Tuhan tak ingin dicampuri bila berkenaan dengan urusan ini. Sangat masuk akal mengapa dirahasiakan, karena kalau tidak, betapa asyiknya kita mempermainkan hidup ini. Namun film ini mewartakan lain. Film ini menunjukan fakta bahwa, walaupun detiknya tak pasti, ada waktu tertentu yang dinobatkan untuk pencabutan nyawa. Artinya ada masa menunggu. Bisa digunakan untuk menyesal, memohon maaf pada Tuhan, bertobat. Belum lagi bila diingatkan pada bahwa Tuhan maha penerima tobat, yang akan menerima tobat setiap hambanya, kecuali bila ruh telah dikeronkongan. Adilkah? 

Di kitab suci kita menemukan ayat “Dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnah Allah”(QS Al-kahfi). Ayat ini mungkin menyadarkan dan menuntun kita menggeser sedikit paradigma yang selama ini mengurung kita. Ternyata yang ditetapkan Tuhan adalah hukum sebab akibat (sunnah). Kematian, dan umur panjang terjadi karena akumulasi dari sebab-sebab yang membawa ke ajal atau batas akhir hidup itu. Tuhan memberikan akal untuk menghindar dari sebab-sebab itu. 

John Coffey jadi tahu karena mengerti sebab-sebab itu. 

Bahwa kapan waktu kematian tak dipermasalahkan Tuhan. Tapi bagaimana dia mati yang menjadi penilaian. Dalam puisinya, Che Guevara bersajak, "peluru, apakah yang dapat ia lakukan jika takdirku mati tenggelam." Bila kita setuju dengan konsep kematian adalah akumulasi syarat-syarat dan sebab alamiah, tentunya Che tak keliru memahami takdir. Ia memilih takdirnya bagaimana Ia harus mati. Dalam lanjutan puisinya Ia telah menulis, "ditembus peluru, TIDAK! Aku melawan, Aku mati melawan". 

Che memilih. Dengan akal dan nurani yang dia punya. John Coffey juga memilih. Walaupun dengan keterbatasan pengetahuan manusia, termasuk John Coffey, cara mati di kursi listrik sangat tak elegan. Tapi tanpa sadar, John Coffey telah memilih nurani dan fitrahnya untuk selalu menolong dan menyelamatkan orang yang membutuhkan walau pada akhirnya Ia menjadi terkorbankan. 

Bila kita terima, bahwa kematian adalah akumulasi dari sebab-sebab, maka kita sebut saja kematian itu adalah sebuah resiko atau konsekuensi. Hanya saja resiko kematian adalah sebuah resiko yang pasti terjadi. Kapanpun, hal itu pasti terjadi. Karena pada suatu titik, kita tak mungkin bisa menghindar dari sebab-sebab itu. Pendek atau panjangnya umur, sekali lagi, tidak masalah. Dalam film ini Paul Edgecomb sang sipir mendapatkan hadiah umur yang panjang dari John Coffey. John mengambil tangan Paul dan menyatakan bahwa ia harus memberi Paul "bagian dari dirinya." Paul tak menyukainya. Kesaktian itu, Ia anggap kutukan. Sebuah kutukan yang diterima, karena membiarkan John Coffey meregang nyawa di kursi listrik. Paul berkata, "it's my punishment, for letting John Coffey ride the lightning; for killing a miracle of God. Pelajaran lagi disuguhkan dalam film ini adalah, panjang umur tak selalu menarik. Saya pernah berandai-andai adanya suatu alat berteknologi yang mampu memanjangkan umur, alat yang mampu memproduksi sel yang mati, mengobati penyakit-penyakit berat, atau apapun itu, yang penting membuat kita terhindar dari kematian dan berumur seribu tahun. Ketika saya utarakan andaian itu kepada seorang teman, teman saya menjawab bahwa apa enaknya hidup ribuan tahun kalau hidup susah terus. Saya membenarkan teman saya yang bijak itu. Intinya bagaimana kita mengisi hidup ini. "orang yang tahu cara mati yang benar pasti mengerti cara hidup yang benar," kata Imam Ali. Karena (sebab-sebab yang menuju) kematian itu adalah suatu kepastian, maka bagaimana kita mempersiapkan diri untuk selalu siap kapanpun kematian menemukan kita. 

Menurut Ali Syariati, ada empat penjara pada manusia yang menggurung manusia agar tak dapat bergerak dinamis menuju kesempurnaan. Ego, sejarah, masyarakat dan alam adalah penjara-penjara yang harus bisa diatasi agar bebas bergerak menuju kesempurnaan. Ego menurut Syariati adalah yang paling sulit untuk dimusnahkan. Hanya cinta senjatanya. Dimana cinta adalah pengorbanan. Saya ingat, Jalaluddin Rakhmat pernah menulis dalam satu artikelnya bahwa ingat kepada kematian mendorong manusia berbuat baik. Ia akan menjadikan amal saleh sebagai bekal untuk kehidupan sesudah kematian. Sadar akan kematian berarti sadar akan ketiaadaan Ego dan “non-being”. Bila kita harus mengakhiri semuanya dengan kematian, masih absahkah kebiasaan kita untuk terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita? Bukankah hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita “memberikan diri” kita buat kebahagiaan orang lain? Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang lain (the otherness) ke dalam eksistensi kita. 

Setelah ke empat penjara itu mampu diatasi maka tak ada jalan lagi di dunia ini yang lebih sempurna dari jalan setelah kematian. John Coffey menyadari itu. Makanya Ia membunuh egonya, dengan memberikan "bagian dari dirinya". Pengorbanan. Ia berkata sesaat setelah Paul Edecomb tak tega lalu "menawarkan" John untuk kabur dari eksekusi, "I know you hurtin' and worryin', I can feel it on you, but you oughta quit on it now. Because I want it over and done." ini menunjukan kesiapan John menjalaninya. Lagu Cheek to Cheek yang ditulis Irving Berlin di tahun 1935 mengalun dari mulut John Coffey saat tali mengikat tangannya di kursi listrik, "heaven... Iam in heaven... Heaven... Heaven."

Sabtu, 24 Mei 2014

Memang Lucu Yaa...

Saya seketika angkat topi dengan akting Reza Rahardian , pertama kali dalam film emak ingin naik haji. Kali ini tak mungkin saya melewatkan film terbarunya, Alangkah Lucunya (Negeri ini). Tak tanggung-tanggung, tanpa berfikir panjang, tepat pada pemutaran perdananya di bioskop, saya langsung meluncur untuk menonton. Selain reza Rahardian, banyak juga artis atis top indonesia seperti Slamet Rahajo, Dedy Mizwar, Jaja Miharja dan Tio Pakusadewo. 

Oke, cukup dengan pameran pemerannya. Alangkah lucunya (negeriku ini), sepanjang pengamatan saya, pendidikan menjadi salah satu tema yang ingin di ulas, kritik, atau diperhatikan dalam film ini. Pendidikan yang membawa orang ke kehidupan yang lebih makmur secara ekonomi. Dari sejak awal, apakah pendidikan itu penting atau tidak sudah dikibarkan melalui perdebatan antara Haji Sarbini (Jaja Miharja) dan Pak Makbul (dedy mizwar). Pak Makbul sebagai ayah Muluk (Reza Rahardian) yang telah berhasil menjadikan Muluk anaknya sebagai sarjana, tetap ngotot dengan pendapatnya bahwa pendidikan itu penting. Sedangkan Haji Sarbini tetap tidak setuju, dengan argumentasi, tanpa pendidikanpun kedua anak laki-lakinya telah sukses dah bahkan mampu menunaikan ibadah haji, walau tanpa sekolah tinggi. Disinilah mulai kelihatan bahwa memang benar negri ini alangkah lucunya. Muluk dengan pangkat sarjana manajemennya seharusnya dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak dan sukses. Tapi faktanya, ia dengan usaha kerasnya masih belum dapat pekerjaan. Begitu juga dengan Samsul, teman muluk, yang sarjana pendidikan sehari hari bekerja sebagai pemain gaplek di pos ronda. 

Faktanya, pendidikan tak selalu mampu mewujudkan cita-cita ekonomi itu yang lebih baik itu. Apa sebab?

Apakah ini yang di maksud oleh sistem yang begitu terkenal yang disebut sitem ekuilibrium ekonomi? Bahwa mereka, jutaan sarjana itu, yang memiliki impian dan cita-cita yang begitu tinggi namun terhempas dalam keseimbangan ekonomi sehingga negeri ini tak mampu lagi menampung orang orang seperti itu. Begitu sempitnya lapangan pekerjaan. Edgeworth dengan diagramnya (yang sebenarnya tak kupahami) melukiskan, ekonomi seperti di negara ini bisa bisa akan bangkrut dan siap siaplah sarjana-sarjana malang akan tergulung dalam kebangkrutan itu. Haidar Bagir, dalam salah satu tulisannya di Tempo membeberkan pendapat Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel tahun 2011, yang bicara keras tentang ulah para banker dan pelaku bisnis keuangan di AS yang disebutnya sebagai telah mengacaukan ekonomi negeri itu. Apa penyebabnya? Saya copy-paste kan langsung dari tulisan Haidar, menurut observasi Stiglitz, telah terjadi kerugian mahabesar terhadap ekonomi karena turunnya produktivitas akibat hilangnya ruang bagi sebagian besar orang untuk berpartisipasi dalam ekonomi, turunnya efisiensi ekonomi karena kekuatan monopoli oleh dan pemberian privilese pajak kepada kelompok kaya, serta hilangnya tindakan kolektif yang seharusnya mendukung kekuatan ekonomi. 

Apa-apa yang kebarat-baratan di negri ini selalu dianggap keren, maju, modern. Tak hanya kawula mudanya yang suka meniru, rupanya, orang-orang tua yang mengurus negri ini juga terjangkit penyakit latah ini. Melatahkan monopoli ekonomi. Seperti lintah, ia menghisap darah negri ini, hingga terkulai lemas. Lobi-lobi korporasi mahabesar terlalu kuat mempengaruhi pemerintah. Pemerintah seperti pernah membeli jasa kepada korporasi hingga memuluskan langkahnya untuk duduk di kursi empuk kepresidenan. Efeknya tentu saja kepada masyarakat kecil yang tak punya ruang untuk menaikkan taraf hidup. Muluk, dalam film itu sempat juga ingin berbisnis beternak cacing. Tentunya setelah mempertimbangkan segala sesuatu yang secara ekonomi harus dilakukan. Prospek, ruang kerja, pasar, manfaat, daya saing, atau modal. 

Modal mungkin merupakan masalah krusial yang menghalangi produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Saya pernah menyarankan seorang teman untuk mencoba usaha futsal di lombok, kampung saya. Dengan mengambil contoh olahraga futsal yang berkembang pesat di jogja saat itu. Ia tertarik. Modal menghambat geraknya. Ia berusaha namun akhirnya patah. Gagal mencari modal. Setahun kemudian, ia menyesal luar biasa karena usaha penyewaan lapangan futsal berkembang pesat di lombok dan menjamur dimana-mana. Seorang teman juga yang mencoba meminjam uang di bank untuk modal sampai berucap ''seharusnya di setiap bank ditempatkan satu wali Allah yang bisa membaca keseriusan hati orang yg akan mengembalikan semua pinjaman tepat waktu'', itu semua karena prosedur bank yang berbelit-berbelit hingga memusingkan kepalanya. 

Akhirnya dalam film itu, muluk yang sarjana ekonomi mengambil usaha yang tak biasa, aneh, berbahaya dan berpeluang besar sekali menciptakan perdebatan di kalangan agama. Memanajemen kelompok copet anak-anak. Dia rasa untuk sementara inilah ruang yang memberikanya peluang untuk mengembangkan kemampuannya. Sambil membuat tujuan untuk membawa mereka, para pencopet, ke pekerjaanya yang lebih aman dan legal. Dia sukses besar. Teori manajemen di aplikasikanya dengan indah. Keseruan film semakin terangkat ketika masuk ke ranah agama. Ayah Muluk mengetahui pekerjaan muluk, dan langsung memvonis bahwa pekerjaan muluk itu haram mutlak. Khatamlah kesuksesan muluk. Samsul yang awalnya di plot muluk untuk menjadi guru bagi anak2 copet, membujuk muluk agar kembali menekuni usaha ini. Samsul berdalil bahwa Tuhan maha memaklumi. Tapi muluk membantah, bahwa kita tak tahu batas maklum Tuhan. 

Bagaimana kita menyikapi hal ini? Siapa yang mesti disalahkan? Muluk kah yang tidak sabaran untuk mencari pekerjaan? Bukankah terlalu banyak pekerjaan di dunia ini, yang halal, hanya membutuhkan keberanian untuk menggerus gengsi? Tukang parkir, tukang cuci baju atau piring, tukang plitur di mebel-mebel, supir angkot, pemulung dan masih banyak lagi. Atau mungkin sistim di negara ini yang kurang beres. Korporasi korporasi besar yang dibiarkan beredar dengan liar untuk memonopoli ekonomi? 
Untuk jawabanya, saya serahkan ke para pembaca yang budiman.. 

Terakhir, ada satu quote dalam film itu yang buat saya tertawa sendiri. Saya rangkai saja dengan bahasa sendiri. "pendidikan itu sangat penting, setidaknya untuk memberitahu kita bahwa pendidikan itu tidak penting'' 

Emang lucu yaa...

Jumat, 23 Mei 2014

AT FIRST SIGHT


"Only Love Can Bring You To Your Senses" lah yang akhirnya disetujui untuk menjadi tags line film "At First Sight" besutan Irwin Winkler. Tak sempat diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada 1999 silam. 


Anda pasti setuju dengan tags line nya bila menonton film ini. Singkatnya, ini tentang kisah pemuda buta yang sembuh dari kebutaan karena bantuan sang kekasih, seorang arsitek wanita yang perfeksionis. Namun setelah menjalani beberapa lama dengan mata baru,sang pemuda memutuskan untuk kembali hidup dalam kebutaan. Kembali meramaikan hidup dalam kegelapan. 



Mengapa? 



Bagi yang hobi berdebat dan berfilsafat tentang keadilan Tuhan, ada baiknya menonton film ini. Ada yang tanpak jelas ditonjolkan di sini, adalah Tuhan amat maha tahu tentang makhluknya. Melawan atau mengganti kehendak Tuhan demi tujuan membahagiakan justru mendatangkan sebaliknya. Virgil (Val Kilmer) si buta ternyata tak suka disehatkan matanya. Mungkin agak sedikit kecewa. Harapannya tentang keindahan dunia masih kalah jauh dari dunia dalam imajinasi, imajinasi yang menerangi kebutaan matanya. Ukuran kebahagian tentu berbeda pada setiap orang. Sang kekasih ingin Virgil mampu melihat, agar sama dengan orang lain, agar hidup lebih bahagia. Padahal sang kekasih lebih tepatnya ingin memakai ukuran bahagia yang dia inginkan. Dengan kalimat lain, Ia bahagia melihat Virgil mampu melihat. Ia bahagia Virgil dengan mata barunya mungkin akan memandang dirinya dengan penuh ketakjuban. Walaupun faktanya virgil ternyata tak bahagia. 



Haidar Bagir jum'at ini membahas kebahagian sederhana di radio Lite Fm. Dengan program acara Lite is beautiful, Haidar menyimpulkan bahwa kebahagiaan itu bisa dicapai dengan mengkalkulasi rahmat Tuhan yang mengalir pada kita. Sedikit pertanyaan saya ajukan melalui akun twitternya tentang apakah kita harus puas dengan apa yang ada ini tanpa harus sibuk meraih pencapaian pencapaian, Beliau menjawab "@Haidar_Bagir: Berlatihlah bahagia dalam keadaan apa pun. Kejar prestasi agar bisa lebih berbagi." that the point, pencapain itu dikejar bertujuan untuk berbagi, untuk membahagiakan orang lain. Karena hakikatnya kebahagiaan tertinggi ketika kita mampu bermanfaat buat orang lain. 



Pesan lain dalam film ini adalah, kita diajarkan untuk menetapkan kecantikan itu pada kebaikan hati seseorang. Maksudnya, seperti kita ketahui, Virgil yang buta matanya hanya bisa menterjemahkan bahwa yang namanya cantik (atau ganteng tentunya) itu adalah perhatian dan kasih sayang melimpah yang disodorkan manusia. Kekasihnya dan kakak wanitanya membanjirinya dengan itu. Makanya dalam benak Virgil keduanya adalah wanita cantik. Jadi perempuan cantik tak sekedar diukur dari paras wajahnya, tapi bagaimana paras hatinya. Seperti Muhammad Iqbal berkata, "warna biru bukan kualitas yang ada pada langit. Biru adalah sekedar sensasi yang direkam benak kita." Dan perekaman itu telah dipertahankan selama berabad-abad. Seperti yang kita ketahui konsep itu akan selamanya juga menjadi tak objektif, karena tak mungkin kita menyamakan persepsi. 



Sekali lagi, Tuhan maha adil, maha tahu, dan maha baik dalam memutuskan menjadi seperti apa idealnya seorang hamba. Yang perlu kita lakukan adalah bersyukur. 



"And when you see what's real about yourself, then you've seen a lot ... And you don't need eyes for that ..." (Virgil) 



Absb 230514